Sabtu, 25 April 2009

Olive's Boy

Judul Cerpen : Olive’s Boy
Nama : Chelsea Cindy Sunyata
Kelas : X.2
No. Absen : 07



Olive tengah mematut diri di depan kaca dengan pakaian yang biasa digunakannya sehari-hari untuk pergi ke tempat-tempat umum. Olive berusia 17 tahun dan duduk di bangku kelsa XII di SMA Pelita Bangsa. Olive merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara. Kakak laki-lakinya telah berada di luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas dan tinggallah Olive sebagai anak tunggal di rumahnya yang lumayan besar itu.
“Aduh, udah jam 5 lewat, padahal aku janji jam 5 udah ada di rumah makan nih. Gawat deh, bakal ngomel deh.” Bisik Olive sambil melihat jam dinding di kamarnya melalui cermin. Olive mempunyai 5 orang sahabat yang sebaya dengannya dan bersekolah di sekolah yang sama.
Olive langsung menuju ke mobilnya yang telah disediakan oleh supir keluarganya dan langsung menuju ke rumah makan yang telah menjadi langganan Olive dan teman-temanya. Selama perjalanan Olive hanya duduk diam dan mendengarkan lagu-lagu pop kesukaannya yang selau ia dengar kapanpun ia di dalam mobilnya.
Sesampainya di sana, Olive celingak-celinguk mencari meja tempat teman-temannya duduk. Setelah melihat sekeliling berusaha mencari-cari, akhirnya ia menemukan teman-temannya sedang duduk di meja pojok sambil bercanda dan tertawa riang.
“Hi Guys, I’m here.” Olive berdiri di pinggir meja makan sambil menyunggingkan senyum kepada teman-temannya.
“Eh, nona besar, jam berapa nih? Si Lola yang udah jadi Duta Telat aja udah nongol di sini. Kamu malah baru nongol sekarang.” Canda Claudia sambil tersenyum menyindir Olive sekaligus Lola. Claudia adalah salah satu sahabat Olive yang memiliki pipi chubby dan wajah yang enak dipandang. Selain itu ada Melia yang dewasa, LoLa yang selalu terlambat kalau mereka hangout bersama, Rachel yang terkesan agak tomboy karna selalu berbicara dengan seenaknya, dan Pevita yang selalu memerhatikan trend dan gaya rambut yang terbaru. Mereka telah berteman cukup lama, sekitar 3 tahun.
“Ups, sorry deh, tadi ngak sadar udah jam 5 lewat. Biasa lah, mama-ku nyuruh ini itu.” Jawab Olive sambil memasang muka memelas.
“Ya udah, duduk sini, Liv. Udah disediain bangku kosong, kok. Ngak masalah juga telat sedikit.” Melia langsung menyudahi.
“Udah lengkap, kan? Pesan makanan yuk! Aku udah laper nih.” Sambung Rachel.
“Yuk! Panggil pelayannya dulu yah.” Pevita menanggapi sambil melambaikan tangan kearah pelayan yang sedang lalu di depannya. Pelayan itupun langsung menghampiri meja mereka dan menanyakan apa yang mereka pesan lalu pergi setelah semua teleh memesan. Mereka melanjutkan pembicaraan yang penuh dengan canda dan menyantap makanan masing-masing saat makanan tiba.

****

“Asik, udah weekend nih. Pulang sekolah jalan sama Leo, ah. Kita ngak ada acara kan hari ini, guys?” teriak Claudia senang karna akan pergi bersama pacarnya yang bernama Leonardus. Claudia telah 1 tahun memilki hubungan dengan Leonardus yang memiliki selisih umur beberapa tahun dari Claudia.
“Iya nih, kita ngak ada acara kan hari ini? Aku juga mau pergi bareng Vido nih. Mumpung weekend. Kamu vit? Mau pergi sama Andrew?” Melia menanggapi dengan nada suara yang halus seperti biasa.
“Ya udah deh kalo ada acara semua, ya kita ngak bakal hangout bareng hari ini.” Jawab Olive dengan ketus.
“OK kalo gitu. Aku pulang duluan yah.” Claudia yang cuek mengabaikan keketusan Olive. Claudia langsung segera berlari ke gerbang depan menaiki mobilnya.
“Ya udah Liv, ngak apa-apa, kan? Kita pulang yuk. Udah siang nih, ntar mama kamu nyariin kamu lagi.” Pevita yang mencium kejengkelan Olive langsung mendinginkna suasana.
Mereka langsung beranjak dari tempat mereka berdiri dan menuju ke depan sekolah dan pulang ke rumah masing-masing.

***

Sesampainya di rumah, Olive langsung masuk ke kamarnya dan menjatuhkan diri ke atas tempat tidurnya dan berbicara kepada dirinya sendiri.
“Kenapa sih, Claudia, Pevita, dan Melia tuh bisa dapetin cowo yang baik banget sama mereka? Sedangkan aku, hanya pernah pacaran satu kali, dan itupun aku dibohongin sama cowok itu, dia selingkuh sama orang lain. Sebel deh liat mereka jalan-jaan bareng pacar masing-masing. Apa lagi Pevita, sebelum dia jadian sama Andrew, dia tuh paling dekat sama aku, sekarang perhatian dia kan terbagi dua untuk Andrew. AKU KESAL!!!!”
Olive memang pernah memiliki pacar yang ia sayangi, tetapi tanpa sepengetahuannya, cowok itu menjalin hubungan juga dengan wanita lain, akhirnya hal itu terbongkar. Olive marah besar dan memutuskan hubungannya dengan cowok itu. Setelah kejadian itu, Olive masih sakit hati dan sikapnya menjadi lebih egois dari sebelumnya. Ia ingin semua orang memerhatikannya, jika ada sesuatu yang membuat teman-temannya kurang memperhatikannya, ia mulai ketus dan akhirnya marah. Seperti yang terjadi 1 tahun yang lalu, Pevita yang sedang sibuk belajar untuk ulangan harian di kelasnya, tidak begitu memperhatikan teman-temannya dan Olive yang merasa tidak diperhatikan marah kepada Pevita.
Akhirnya Olive bangkit dari tempat tidurnya dan langsung pegi ke kamar mandi. Setelah Olive merasa segar dan lelahnya sudah sedikit berkurang, ia duduk di depan meja rias dan kembai terpikir masalah teman-teman dan pacar mereka.
“Olive! Ayo makan! Mama udah nungguin dari tadi nih.” Tidak lama setelah itu, Mama Olive mengajaknya untuk makan siang. Olive turun dan langsung duduk di kursi meja makan lalu dengan senang melihat mamanya memasak makanan kesukaannya.
“Wah.. Mama masak pangsit goring. Aku pasti makan banyak.” Olive memandang makanan yang disajikan mamanya dengan perut yang sudah lapar. Mama Olive hanya tersenyumsenyum melihat anaknya kegirangan karena melihat makanan kesukaannya yang disajikan di meja makan. Olive makan bersama mamanya, hanya berdua saja karena papanya sedang bekerja dan tidak makan di rumah, sedangkan kakak laki-lakinya sedang kuliah di Luar Negeri. Olive menyantap makanannya dengan sangat lahap. Mamanya hanya bisa tersenyum melihat anaknya menyantah hidangan yang sangat banyak.
Olive anak yang dimanja oleh kedua orangtuanya. Apalagi semenjak kakak laki-lakinya telah kuliah ke luar negeri dan Olive menjadi ‘anak tunggal’ di rumahnya. Orangtuanya sangat menjaganya, smpai-sampai, jika mau hangout bersama teman-temannya, ia sangat susah mendapatkan ijin. Tetapi mungkin karena merasa anaknya sudah tumbuh dewasa, orangtuanya mulai memberikan keringanan kepada Olive.

***

Senin pagi di SMA Pelita Bangsa telah terjadi keributan kecil yang melibatkan Olive dan Boy, teman sekelas Olive.
“Boy!! Bisa ngak sih berhenti gangguin aku? Bisa gila nih lama-lama dikerjain sama kamu terus!” Olive berteriak sambil marah-marah.
“Biarin, kamu juga yang gila. Aku ngak rugi dong kalo kamu gila. Dasar gorila, marah-marah aja kerjanya.” Boy membalas sambil berlari dari tangan Olive yang sudah siap mengelus kuat-kuat pundak Boy.
“Woi! Berhenti! Sini kalo berani! Jangan kabur! Dasar, beraninya sama cewek ajah.”
“Biarin, oh ya, emang kamu cewek yah? Aku taunya kamu itu gorila.”
“Dasar kamu, Boy! Ngejek orang terus! Kamu tuh, nama aja Boy! Nama yang Ja-Dul banget tau. Sama kayak orangnya yang mukanya ketinggalan jaman banget!”
“Yah, walaupun jadul tapi kan banyak yang naksir aku. Kamu tuh, ngak laku-laku.”
Saat tengah berlari-lari menejar Boy, Olive bertemu dengan teman-temannya yang sedang mengobrol di teras depan kelas.
“Hey Liv! Pagi-pagi udah kejar-kejaran sama Boy. Udah kayak Perang Dunia ke-4 aja.” Pevita langsung memotong acara kejar-kejaran antara Olive dan Boy.
“Iya tuh, si Boy rese banget deh. Pagi-pagi udah gangguin aku. Jadi kesel deh.” Jawab Olive terengah-engah.
“Dasar, kamunya juga nanggepin sih, makin menjadi-jadi deh si Boy gangguin kamu.” Baru selesai Pevita berbicara, tiba-tiba bel masuk sekolah berbunyi.
“Eh, udah masuk nih, kita masuk kelas, yuk.” Melia angkat bicara.
“Iya, kita masuk kelas dulu yuk, aku ulangan kimia nih di jam pertama.” Claudia juga langsung beranjak dari tempat duduknya. Mereka masuk ke kelas masing-masing dan siap mengikuti pelajaran, kecuali Olive. Boy masih mengganggunya selama pelajaran di kelas, sehingga ia tidak berkonsentrasi dengan pelajaran yang sedang disampaikan.
Boy telah berteman dengan Olive selama lebih dari 2 tahun. Dari kelas XI mereka duduk di kelas yang sama, karma kebiasaan Boy yang usil, Olive manjadi wadah tempat menampung segala keusilan yang ia lakukan. Secara Fisik, Boy cowok yang lumayan tampan. Di bidang akademik, Boy tidak begitu hebat, nilai-nilai pelajarannya cukup, tetapi tidak berlebih. Boy sangat hobi bermain game OnLine dan ia sangat menekuni hobinya itu.

***

“Huh! Gila, hari ini seharian ngak konsentrasi sama sekali. Boy gangguin aku terus nih. Bisa gila lama-lama.” Cerita Olive kepada teman-temannya.
“Kamu tanggepin dia, Liv?” tanya Pevita.
“Abis gimana, kalo ngak ditanggepin, aku udah kesel banget. Dia tuh rese banget.”
“Sabar-sabar aja dulu kali. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Kata Pevita sambil tertawa.
“Hah? Bukannya Bersakit-sakit dahulu, mati kemudian?” Lalu semuanya tertawa bersama dan Olive agak melupakan masalah Boy yang dari tadi mengganggunya.
“Oh y guys, ke restoran langganan yuk. Aku lagi pengen makan ayam goring lemonnya nih. Pengen banget.” Sambung Olive.
“Boleh juga tuh, aku juga udah laper. Kita pergi naik mobil siapa nih?” Claudia sependapat dengan Olive.
“Naik mobil aku aja deh, aku udah telepon supirku dari tadi, pasti bentar lagi nyampe deh. Gimana, setuju ngak?” Olive berkata dengan semangat.
“Aku sih OK, yang lain gimana?” Jawab Rachel.
“Aku OK juga.” Lola menjawab dengan semangat.
“Aku ikut deh.” Melia menjawab kalem
“Ya udah kalo semuanya ikut, aku pasti iku juga dong.” Pevita menjawab dengan senyum.
Mereka langsung menuju mobil Olive dan mobilpun langsung meluncur ke jalanan menuju tempat restoran favorit mereka.
Sesampainya disama mereka langsung memesan makanan masing-masing dan setelah itu mereka asik mengobrol dan tertawa dan tidak memerhatikan seorang anak SMA masuk ke dalam dan duduk di meja sebelah. Cowok itu memesan makanan kepada pelayan, dan tanpa sengaja, Olive yang sedang menoleh untuk melihat apakah makanan mereka akan segera siap dihidangkan bertemu pandang dengannya. Olive terpesona dengan parasnya yang sangat tampan, ia tak henti-hentinya menoleh untuk melihat siswa SMA yang berseragamkan SMA Virgo. SMA Virgo adalah sekolah yang termasuk ke dalam sekolah Ellite di kota itu. Teman-teman Olive memperhatikan Olive yang bertingkah aneh hari itu. Makanan sudah tersedia tapi ia belum menyentuh makanan yang dipesannya.
“Liv, tuh makanan udah mau basi bentar lagi. Makan gih. Dari tadi ngeliatin apaan sih?” Tegur Claudia.
“Ngak nih, cuma liat-liat aja. Iya aku makan.”
Claudia yang masih bingung mengikuti arah pandangan Olive dan mendapati Olive sedang memperhatikan Seorang anak SMA Virgo.
“Eh Liv, aku kenal loh sama si SMA Virgo itu. Jangan di liatin aja.” Claudia berbisik.
“Hah? Apaan sih kamu, ngak kok” Jawab Olive terkejut.
“Udah. Aku tau kok kamu ngeliatin cowok itu dari tadi. Aku kenal sama dia, namanya Jhonny. Biasa dipanggil Jojo.”
“Hah? Emang kamu kenal darimana Claud?”
“Dia itu temennya mantan pacarku. Teman SMPnya, aku kenal soalnya mereka teman baik, jadi sering ngobrol juga sama dia.”
“Koq jadi ngomongin dia sih, udah ah, aku makan dulu.”
Seusai makan, mereka jalan keluar dari restoran itu dan berpapasan dngan Jhonny. Claudia langsung menegur Jhonny.
“Hai Jo, udah lama banget nih ngak ketemu sama kamu.”
“Hai, Claud, gimana nih kabarnya?”
“Baik kok, kamu?”
“Aku juga baik. Makan-makan nih?”
“Iya, biasa, dengan teman-temanku. Kenalin dulu deh, Ini Lola, Melia, Rachel, Pevita dan yang terakhir Olive.” Claudia memperkenalkan teman-temannya dan sengaja menaruh Olive di urutan yang terakhir. Olive hanya bisa menunduk ketika dikenalkan dengan Jojo. Lalu setelah itu, mereka pulang ke rumah masing-masing.

***

Sesampainya di rumah, Olive kembali termenung memikirkan Jojo yang masih menghantui pikirannya.
“Coba tadi aku nanya banyak sama Claudia deh. Aduh, kepikiran cowok itu terus jadinya. Cakep banget sih, berkharisma. Cowok idaman aku banget.” Olive terus bergumam pada diriny sendiri hingga sore menjelang dan lamunannya dibuyarkan oleh teriakan mamanya dari bawah yang memanggilnya untuk makan malam. Dengan masih berpakaian sekoah, Olive turun ke ruang makan yang telah diisi oleh orangtuanya.
“Liv, kok kamu masih pakai beju sekolah? Udah malem begini, dari tadi kamu ngapain aja?” Mama Olive yang keheranan dengan anaknya bertanya dengan wajah yang bingung.
“Hah? Iya ma, tadi aku langsung ketiduran. Capek banget dari sekolah tadi, ngak sadar ketiduran di kamar deh.” Dusta Olive
“Oh, ya udah, jadi kamu mau makan udulu atau mandi dulu aja?”
“Aku makan dulu aja deh ma, jadi kita makan sama-sama, nanti selesai makan aku langsung mandi deh.”
“Ya udah, kita makan dulu yah, sini duduk, Liv.” Ajak mamanya sekaligus menunjuk tempat duduk di sebelahnya. Lalu mereka makan bersama dan bercakap-cakap tentang aktivitas mereka tadi siang. Olive hanya mendengarkan percakan antara papa dan mamanya.
Selesai makan, Olive segera naik ke kamarnya dan pergi ke kamar mandi dan dari luar kamar mandi seger terdengar siara yang erasa dari pancuran air. Olive mandi dengan cepat dan segera mengenakan piyamanya.
Olive duduk di pinggir ranjangnya dan baru teringat bahwa ia belum memeriksa handphne-nya. Olive segera memeriksa Handphone-nya dan mendapati ada 4 new messages. Ia segera membuka sms yang elah ia dapat. Dan mendapati sebuah nomor yang tidak ia kenal mengirimkan message. Olive membaca pesan singkat itu dan ia sangat terkejut, orang yang mengirim pesan itu adalah Jhonny. Dengan kegirangan, Olive segera bangkit dari duduknya dan melompat-lompat kecil. Dengan segera ia membalas message itu, dan mengobrol dengan Jojo hingga ia merasa mengantuk dan memutuskan untuk tidur.

***

Keesokan paginya Olive bangun dan langsung bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Mandi, sarapan, lalu pergi ke sekolah, seperti biasanya. Langit pagi ini mendung dan hujan rintik-rintik sudah mulai menghujam bumi. Sesampainya di sekolah Olive langsung menemui teman-temannya yang telah datang ke sekolah, tinggal Lola yang belum datang.
“Hai all.” Sapa Olive dengan mimic yang sangat ceria.
“Hai, Liv. Pagi-pagi udah cengar-cengir aja. Kenapa sih kamu?” Tanya Pevita
“Ngak kenapa-kenapa sih, Cuma lagi seneng aja. Seneng banget.”
“Emangnya ada kejadian apa sih, ampe segitu senangnya?” Sambung Claudia.
“Eh, Claud, kamu yah yang kasih tau nomor handphone aku sama Jojo?”
“Aku? Ya ngak lah, kemarin aja aku langsung pulang kok ke rumah. Jojo juga ngak punya nomor handphone aku.” Respon Claudia yang memang tidak mengetahui hal itu. Claudia sendiri terkejut mendengar kabar bahwa Jojo sudah menghubungi Olive. Claudia tau sifat Jojo yang kurang baik. Ia ingin mengingatkan Olive, tapi melihat Olive yang sedang senang minta ampun, Claudia tidak berani mengatakan hal itu.
Sepanjang hari Olive mengobrol dengan Jojo melalui SMS. Olive merasa nyaman berbicara dengan Jojo. Hal itu berkelanjutan hingga 2 bulan kemudian dan Olive bercerita dengan teman-temannya bahwa ia akan hangout bersama Jojo hari minggu nanti.
“Hah? Ngak salah, Liv?” kejut Claudia.
“Yah ngak salah dong, Claud. Aku kayaknya udah mulai suka sama dia nih.”
“Liv, aku certain sama kamu ya, Lupain aja Jojo! Jojo itu playboy, suka mainin cewek. Udah banyak cewek yang jadi korban dia. Selama aku pacaran sama Bram, aku sering banget diceritain kalo dia tuh suka mainin cewe. Aku ngak mau kamu jadi korban dia.”
“Claud, selama aku ngobrol sama dia, aku rasa dia orangnya baik kok, ngak mungkin deh dia mainin perasaan cewe. Mungkin aja dia udah ngerasa ngak cocok dengan mantan-mantannya, jadi mereka putus. Buka berarti dia mau mainin cewek.”
“Ngak, Liv. Kamu percaya aku deh, mantannya aja banyak banget.”
“Ngak lah Claud, aku percaya kok sama Jojo.”
Claudia yang tidak tau lagi bagaimana cara mengatakan hal yang sebenarnya kepada sahabatnya itu pun terdiam dengan menyimpan rasa sedikit dongkol. Teman-temannya hanya bisa mendengar perdebatan kedua sahabat mereka tersebut.
***

Olive pergi bersama Jojo ke sebuah Mall ternama di kota itu. Banyak hal yang mereka lakukan disana, menonton, makan siang, bermain game, dan hal-hal lainnya. Olive merasa nyaman dengan Jojo dan ia semakin menyukai Jojo. Olive sampai di rumah ketika senja telah menjelang. Olive langsung menceritakan semua yang ia kerjakan bersama jojo kepada Pevita. Pevita ikut senang karena sahabatnya merasa senang. Olive menutup hari itu setelah membersihkan diri dan menyantap makan malam bersama keluarganya.
Olive telah jatuh cinta! Olive yakin bahwa Jojo menyukainya dn merekan akan menjadi sepasang kekasih yang bahagia. Tetapi hal itu dihancurkan ketika seminggu kemudian, Olive dan teman-temannya pergi ke Mall dan bercanda bersama, seperti biasa. Dan memergoki Jojo yang sedang bersama seorang wanita yang tidak ia kenal. Mereka berjalan sangat mesra dan Olive langsung shock melihat hal itu. Olive yang sangat terluka karena hal itu, segera minta pulang dengan teman-temannya. Mereka segera kelur dari Mall dan pulang ke rumah Olive.
“Claud, aku minta maaf ya.”
“Ngak apa-apa kok, lain kali kan kita bisa pergi sama-sama lagi.”
“Bukan soal itu, Claud.”
“Jadi soal apa, Liv?”
“Soal aku ngak mau dengerin nasehat kamu soal Jojo. Aku udah ketipu sama ketampanan Jojo, sampai ngak dengerin kata-kata sahabatku sendiri” Kata Olive dengan muka tertunduk.
Olive merenung dan menyadari keegoisan yang ia lakukan terhadap teman-temannya. Temannya yang sudah tidak ia percayapun dapat memaafkan dirinya. Ia menyadari rasa irinya terhadap teman-temannya yang telah memiliki kekasih. Ia juga meminta maaf atas segala hal itu.
“Aku juga minta maaf karma keegoisanku dan rasa iri yang terlalu besar terhadap kalian.”
“Rasa iri? Maksudmu?” Tanya Pevita.
“Iya, sebenarnya aku sangat iri sama kalian yang telah memiliki kekasih yang sangat menyayangi kalian. Aku sangat kesal jika kalian sedang besenang-senang dengan pacar kalian.”
“Ya ampun, Liv. Kami juga bukan sengaja mau menunjukan kebahagiaan kami di depan kamu. Kami sayang sama kamu, Liv.” Jawab Melia.
“Iya, kami semua sayang kamu, kok.” Mereka bersama-sama menghibur Olive.

***

Pagi yang cerah di hari berikutnya, Olive berjalan ke kelasnya dengan tampang kusut karena kejadian kemarin. Ia masuk ke kelasnya dan duduk di tempat duduk yang biasa ia duduki. Tanpa Olive sadari, ada seseorang yang menghampiri mejanya. Orang itu memperhatikan wajah Olive yang terlihat sangat sedih. Orang itu merasa sangat sedih melihat wajah Olive yang muram. Orang yang dengan tulus menyayangi Olive sejak 2 tahun yang lalu, yang selalu mengisi hari-hari Olive dengan segala keusilan yang ia perbuat. Ia hanya yakin, dengan cara itu ia dapat membuat Olive menjadi senang.
“Liv, ada apa?” Orang itu bertanya dengan lembut.
“Eh kamu, udah deh, aku lagi ngak mood main sama kamu.”
“Ngak, Liv, aku bukan mau gangguin kamu. Aku cuma mau tau keadaan kamu aja. Kok kamu gini, Liv? Ada apa?” Tanya orang itu. Sebenarnya ia tahu apa yang terjadi dengan Olive. Ia telah menanyakan hal itu kepada teman-teman Olive.
“Ngak kok, aku Cuma ngak mood aja.”
“Oh, ya udah deh kalo emg ngak apa-apa. Tapi aku bersedia jadi tempat pencurahan kesedihan kamu kok, Liv.” Orang itu menyampaikan denan halus. Olive terkejut dengan perubahan yang terjadi dari orang itu. Sebenarnya bagaimana sih sifatnya? Kadang-kadang ngerjain orang ampe keterlaluan banget, kok sekarang jadi perhatian gitu sih? Aku jadi asing dengan orang ini. Bener ngak sih ini orang yang sama? Setiap hari orang itu memberikan Olive semangat, menghiburnya walaupun ia berpura-pura tidak tau apa masalah Olive.
Olive merasa perlu bercerita dengan seseorang, ia malu untuk cerita pada teman-temannya karena ia merasa sangat bodoh tidak menghiraukan nasihat sahabtnya sendiri. Akhirnya, Olive tanpa sadar bercerita kepada orang itu ketika ia sedang menghibur Olive. Orang itu bersedia mendengarkan cerita Olive dengan baik, sangat baik. Selesai Olive menceritakan hal itu, orang itu hanya memberikan senyum dan semangat-semangat untuk Olive. Membiarkan Olive yang sedih karena telah dipermainkan dua kali oleh orang yang sudah ia sayangi menitikkan airmata di tangannya, mejadikan dirinya tempat untuk mencurahkan segala kesedihan yang dialaminya.
Olive memang tidak sadar ada orang yang benar-benar tulus menyayanginya, tetapi suatu saat, Olive akan menyadari hal itu. Cinta yang sesungguhnya telah ada dihadapannya. Ia hanya perlu melihatnya, menyadarinya, dan menggapainya dengan mudah, tanpa perlu mengejar cinta itu lagi.



--The End--

Selasa, 21 April 2009

Ilalang

Ilalang
Karya : Birgitta Fajarai ( 4 )




Saat dua hati bertaut. Apa yang terjadi? Ya, cinta telah muncul, menyatukan dua pribadi yang berbeda dan menggambarkan semua perasaan yang bercampuraduk yang dirasakan para penikmatnya. Cinta menimbulkan suatu kecanduan. Cinta memiliki daya pikatnya tersendiri. Semua orang akan tergiur dengan aroma semerbak dan rasa khas yang dipancarkan cinta..


“ Cinta, cinta, cinta. Kenapa sih mesti ada cinta? Bikin pusing aja!” kata Vella
“ Yyyee…. Kalo gak ada cinta. Lo gak bakal lahir, tahu?”
“ Siapa bilang? Banyak kok pasangan yang nikah tanpa cinta.”
“ Tapi cepet juga cerainya. Emangnya lo mau lahir dari keluarga kayak gitu?”
“ Ya nggak la. Kan gak enak banget tuh.”
“ Udah ah. Gak enak ngomong sama kaca. Bikin capek. Bukannya nyelesaiin masalah, nambah bikin puyeng aja. Huh!!” sambung Vella sambil menghempaskan tubuhnya ke ranjangnya.
“ Ooaaahhhh…. Ngantuk banget nih. Tidur dulu ah..”

------


Tok…tok…tok....


“Vel, bangun dong. Udah jam berapa nih!! Ntar telat, lho!” kata Axelle, kakak Vella.
“ Ehm, bentar lagi.”
DUAK…DUAK…DUAK…
“Woi, bangun!! Udah jam 7 neh!” teriak Axelle.
“ HAH!? JAM 7!! GAWAT!! MANDI…MANDI... Aduh! Gak sempet. Ya udah deh, pake parfum aja…,” rancau Vella saking paniknya.


Dalam lima menit, Vella sudah siap. Kemudian dia ke ruang makan untuk berpamitan dengan keluarganya..


“ Ayah, Bunda, Vella pamit, ya,” kata Vella sambil mengambil 2 keping roti isi.
“ Kak, antar aku, yuk!!”
“ Lho, kok pake seragam?! Lo mau ke mana?” tanya Axelle heran.
“ Ya, sekolah dong, Kak! Gimana sih?!”
“ Hwahahahahaha…Hwahahahhahaha…,” semua keluarga Vella tertawa.
“ Kok malah ketawa?!” tanya Vella heran.
“ Ini kan hari Minggu, ngapain lo ke sekolah?! Hwahahahaha…,” ujar Kak Axelle sambil tertawa.
“ Lho, bukannya tadi lo bangunin gue buat sekolah?!” ujar Vella marah.
“ Siapa bilang? Tadi kan gue nggak ngomong kalo lo telat sekolah.”
“ Makanya, kalo punya kuping, ya dipake. Hahahaha….”
“ Iih!! Rese banget..Uhh…,” rutuk Vella.
“ Vella, daripada kamu cemberut seperti itu, sebaiknya kamu ikut kakakmu lari pagi di taman. Lagipula, bangun siang itu tidak baik. Apalagi kamu itu perempuan, Vella,” nasihat Bunda.
“ Iya, deh, Bun. Vella ikut Kak Axelle olahraga aja,” ujar Vella.
“ Ya sudah, kamu cepat ganti baju sana. Nanti malah ditinggal kakakmu.
“ Ok, Bun."

------



“ Udah dulu, Kak. Capek!” Vella menyudahi lari paginya.


“ Oke.”
Saat itu Vella berdiri di tengah taman. Ia bermaksud melakukan pendinginan. Namun, tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang hingga Vella jatuh.
“ Aduh! Kalau jalan pakai mata, dong,” kata seorang laki-laki yang menabrak Vella.
“ Enak aja. Kamu itu yang jalannya gak pake mata. Udah jelas-jelas kamu yang salah. Bukannya minta maaf, eh, malah nyalahin orang,” oceh Vella seraya bangkit dari jatuhnya dan membersihkan pakaiannya yang kotor.
“ Kok aku yang minta maaf? Kamu yang harusnya minta maaf. Berdiri ngalangin jalan, emangnya kamu pikir, ini jalan nenek moyang kamu?!” ujar lelaki tadi.
“ Udah..udah.. Gak usah berantem. Masalah gitu aja dibesar-besarin,” kata Axelle menengahi pertengkaran itu.
“ Lho. Axelle?” tanya lelaki itu kaget.
“ Iya. Siapa, ya?” tanya Axelle agak heran.
“ Gue Kay. Udah lupa, ya?”
“ Kay. Hahaha… Bukan lupa, tapi gue gak bisa ngenalin lo lagi. Gila! Lo berubah banget. Apa kabar, Kay?”
“ Baik. Lo sendiri?”
“ Baik juga.”
“ Lo ke mana aja? Lo kayak hilang ditelan bumi.”
“ Gue ikut nyokap ke Bandung, sekarang gue kuliah di sana.”
“ Hello… Jangan ngacangin gue dong. Ini cowok siapa, Kak?” kata Vella memotong pembicaraan.
“ Oh, gue lupa. Kenalin Vel, ini Kay. Kay, ini Vella, masih inget, kan?” kata Axelle.
‘ Masih inget? Maksud kakak apaan sih? Gue gak ngerti, deh. Ah, gak tahulah. Nanti aja, gue tanya,’ kata Vella dalam hati.
Vella tertegun. Matanya tertumpu pada pria itu. Vella melihat pria itu dari ujung kaki sampai ujung rambutnya, seakan-akan menilai penampilan Kay. Namun, lambat-laun ia menyadari sesuatu yang lain dari Kay. Vella merasa seperti mengalami dejavu. Dia seperti merasa pernah bertemu dengan Kay. Tetapi kemudian pertanyaan Kay menyadarkannya dari lamunannya.
“ Kok melamun?”
“ Oh, enggak. Gak pa-pa. Ehm… Maaf, ya atas kejadian tadi.”
“ Iya, gue juga minta maaf.”
“ Vel, lo balik duluan aja, ya? Gue mau ngobrol-ngobrol dulu sama Kay,” ujar Axelle.
“ Gue pulang naik apa?” tanya Vella.
“ Ya jalan kaki la. Manja banget.”
“ Kok lo tega, sih sama adik lo sendiri?” protes Vella.
“ Cepetan sana. Ganggu aja, deh,” usir Axelle.
Vella pun pergi dengan muka cemberut dan kesal. Ada sedikit rasa kehilangan di hati Vella saat melangkah pergi dari tempat Kay dan Axelle berdiri. Entah mengapa.



Sesampai di rumah, Vella langsung menuju ke dapur. Dahaganya tidak dapat ditahan lagi. Perutnya pun sudah minta diisi. Lelah dan kesal. Itulah kata-kata yang dapat menggambarkan keadaan Vella saat itu. Lelah karena dia pulang dengan berjalan kaki dari taman ke rumahnya yang letaknya cukup jauh.
Kesal karena dengan teganya kakaknya menyuruhnya pulang atau lebih tepatnya mengusirnya dan lebih memilih mengobrol dengan teman lamanya tanpa menghiraukan adiknya sendiri.
Rasa penasaran pun tiba-tiba muncul ketika ia mengingat tentang kejadian di taman tadi. Berbagai pertanyaan melompat-lompat keluar dari otaknya.
“ Kok kayaknya pernah ketemu Kay. Tapi di mana, ya?”
Sejenak Vella diam, memikirkan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Lama dia berpikir tentang hal itu, namun tak satupun jawaban yang dia temukan. Malah rasa penasarannya bertambah besar.
“ Aduh! Di mana, sih? Kok gue gak inget, ya?”
“ Ah..udahlah. Ngapain juga gue mikirin soal itu. Kalau emang pernah ketemu, pasti nanti gue inget. Kalaupun gue nggak inget, berarti muka Kay itu pasaran. Banyak yang punya. Hahahaha…”
“ Duh! Maag gue kambuh lagi deh! Gara-gara mikirin Kay yang gak penting itu sih. Mendingan sekarang gue makan. Laper banget.”
“ Sabar, ya perut. Bentar lagi kamu kamu aku isi. Tenang aja,” Vella berbicara dengan perutnya sambil mengelus-elusnya.



Keesokan harinya, pukul 6.15, Vella sudah berada di meja makan untuk sarapan. Dia bangun pagi-pagi. Tidak mau kejadian kemarin tidak terulang. Seperti biasanya, Vella menyantap nasi goreng selimut dengan segelas susu putih. Hari ini, Vella sarapan sendirian. Ayah dan Bundanya pergi ke Bandung kemarin malam, sedangkan Kak Axelle sudah hilang dari tadi, entah kemana perginya.
“ Kak Axelle ke mana, ya? Kok pergi gak bilang-bilang. Gue ke sekolah gimana dong? Mana di sekitar sini gak ada kendaraan umum lagi,” gerutu Vella saking kesalnya.
“ Halo Vella! Gak baik, lho menggerutu seperti itu,” sapa Kay yang tiba-tiba sudah duduk di sebelah Vella.
“ Kok…Kay di sini? O..gue tahu, pasti nyari Kak Axelle! Sayangnya, Kak Axelle udah pergi dari tadi, tapi gak tahu ke mana,” balas Vella.
“ Gak tuh. Gue bukan nyari Axelle. Gue nyari lo,” jelas Kay.
“ Hah?!” kata Vella kaget.
“ Gak kok. Bercanda. Hahaha… Gue ke sini karena dapet amanat dari Axelle buat nganter lo.”
“ O…”
“ Tapi abis lo pulang sekolah. Lo mesti nemenin gue ke suatu tempat. Gimana? Mau, gak?”
“ Ehm.. tapi ntar jangan lupa traktir gue, ya?
“ Ok. Gak masalah.”
“ Kalau gitu, gue mau,” kata Vella sambil tersenyum.


Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah Vella, Vella dan Kay berbincang tiada henti. Mereka berbincang apa saja. Vella pun merasa nyaman dan dekat dengan Kay. Padahal, mereka berdua belum begitu mengenal satu sama lain dan Vella sendiri pada dasarnya bukan seorang gadis yang bisa dengan mudah dekat dengan orang lain.
Rasa penasaran yang sempat dikuburkan jauh-jauh itu kembali lagi. Rasanya, seiring berjalannya waktu, rasa itu semakin menguat dan tak terbendungkan. Sampai-sampai, di sekolah pun Vella tidak bisa konsentrasi belajar. Kerja Vella hanya melamun saja. Bahkan, pada hari itu sudah 3 kali Vella ditegur oleh guru. Teman-temannya pun heran.
“Vella, lo gak pa-pa kan? Kerjaan lo dari tadi bengong mulu,” ujar Tania.
“ Kesambet baru tahu rasa,” timpal Anne.
“ Ada apa, Vel? Cerita dong,” kata Tania.
“ Hah?! Kalian ngomong apa? Sorry, sorry, gue tadi gak denger,” jawab Vella
“ Tuh, kan! Baru aja dingomongin, eh, udah melamun lagi,” ujar Tania.
“ Iya. Gue jadi heran.”
“ Kalau liat dari tanda-tandanya, nih. Kayaknya Vella lagi jatuh cinta. Iya, kan, Vel?” timpal Anne.
“ Ah. Enggak mungkin la. Mau jatuh cinta sama siapa, coba?” hindar Vella.
“ Ehm.. By the way, yang tadi pagi nganter lo, siapa, Vel? Jangan-jangan lo jatuh cinta sama orang itu, ya?
“Enggak la. Itu cuma temen kakak gue. Namanya Kay. Kakak gue nyuruh dia nganterin gue.”
“Cie...,” sorak Tania dan Anne..
“ Apaan, sih? Gue tegasin sekali lagi. Gue gak lagi jatuh cinta.”
“ Terus, kenapa dari tadi lo melamun aja?”
“ Gini lo…,”
Vella pun menceritakan semua kejadian yang dia alami bersama Kay. Lengkap dan sangat terperinci. Mulai dari pertemuan mereka. Rasa penasaran Vella, juga kejadian tadi pagi yang membuat Vella semakin penasaran dengan Kay.
“ Kok bisa, ya lo ngerasa deket dengan dia, padahal lo baru kenal dy sebentar banget,” ujar Anne.
“ Udah la. Gak usah dibahas lagi. Ntar kita jadi pusing. Lupain ajalah, Vel. Paling-paling muka kayak Kay itu pasaran punya,” sambung Tania.
“ Iya, sih. Tadinya gue juga mikir kayak gitu. Gue udah berniat ngelupain semuanya. Tapi, pasti ujung-ujungnya kepikiran lagi,” kata Vella.
“ Oke. Sekarang kita lupain dulu masalah itu. Bu Resti udah masuk tuh. Gue gak mau cari gara-gara,” Tania mengingatkan.
“ Oke,” jawab Vella dan Anne bersamaan.


Teng…ting…teng…
“ Jangan lupa tugasnya dikumpulkan besok. Selamat siang!” ujar Bu Resti mengakhiri jam pelajaran.
“ Selesai juga pelajarannya,” ujar Vella dengan tersenyum manis.
“ Vella, kita ke rumah Tania, yuk. Udah lama kita nggak ngumpul-ngumpul,” ajak Anne.
“ Iya, iya. Udah lama banget. Sekalian kita ngerjain tugas dari Bu Resti,” ajak Tania yang mengamini ajakan Anne.
“ Guys, sorry banget. Gue udah ada janji sama Kay. Gimana kalau besok aja. Kebetulan besok gue gak ada kerjaan,” tawar Vella.
“ Wah! Kayaknya kita mesti nyingkir dulu deh, Tan. Ada yang mau kencan!” goda Anne yang diikuti tawa Tania.
“ Aduh! Jangan mulai lagi, dong! Gue marah, nih!” ancam Vella.
“ Iya, deh! Nggak lagi. Jangan marah, Vel! Kita cuma bercanda.”
“ Tapi, gue juga cuma bercanda. Hahaha… Udah dulu, ya? Gue udah ditungguin Kay dari tadi. Sampai ketemu besok! Daahhh!” kata Vella sambil melambaikan tangannya.
“ Daahhh.”



Vella berlari menyusuri koridor sekolah, menuju ke pelataran parkir. Tidak memerlukan waktu lama untuk menemukan mobil Kay karena mobil yang ada di pelataran parkir itu hanya ada satu dengan warna kuningnya yang sangat menyala. Segera Vella berjalan menuju mobil itu dan membuka pintu mobil itu.
“ Halo, Kay! Udah lama, ya? Maaf, deh!”
“ Gue baru aja nyampe. Gimana sekolahnya?”
“ Yah, gitu deh. Biasa-biasa aja. Sekarang kita mau ke mana?”
“ Gimana kalau kita makan dulu? Tapi di mana yang enak?” tanya Kay.
“ Ke Roemah Kajoe aja. Gue suka banget suasananya,” saran Vella.
“ Letaknya di mana?” tanya Kay.
“ Di Jalan Telomoyo.”
“ Oke. Let’s go!.”




Roemah Kajoe adalah sebuah kafe mungil. Tempatnya kecil dan berdinding kayu. Dua meja biliar diletakkan di samping kumpulan tempat duduk. Hanya segelintir orang saja yang bermain biliar. Kafe itu selali berbau bunga jasmine. Ornamen yang diusungpun adalah ornament etnik dengan dominasi warna cokelat. Beberapa lampu kecil diletakkan dalam wadah terakota menerangi beberapa tempat.
Terdapat daya tarik tersendiri bagi para penikmatnya. Dengan alunan lagu yang lembut yang diputar di sana, kafe itu memberi rasa nyaman kepada pengunjungnya. Ada rasa hangat saat duduk di kafe itu, seperti berada dalam sebuah keluarga yang harmonis.
“ Waw! Keren banget kafenya, Vel! Rasanya nyaman banget.” komentar Kay.
“ Karena itulah gue suka sama tempat ini,” jawab Vella sambil tersenyum manis.
“ Bakal betah banget gue di sini.”
Selagi menikmati keindahan dan keunikan kafe itu, seorang pelayang mendatangi Kay dan Vella dengan senyum yang menentramkan hati.
“ Silakan…,” ujarnya ramah sambil memberikan menu kepada Vella dan Kay.
Setelah melihat-lihat menu, Vella memilih satu creamy soup, satu pack kecil fried potato, dan segelas cappuccino, sedangkan Kay memesan satu meet rogan josh, satu samosa, dan segelas coffee latte. kemudian Vella menyerahkan kertas pesanannya kepada pelayan tadi seraya mengucapkan terima kasih.
Sambil menunggu pesanan, mereka kembali bercanda tawa. Setelah menunggu selama kurang lebih 15 menit. Pesanan mereka datang. Mereka menikmati semua makanan dengan lahap dan sesekali berbincang-bincang lagi. Semua makanan di piring-piring sudah tandas. Minumannya pun juga tak bersisa.
“ Wah, kenyang sekali, tapi sumpah! Makanannya enak banget.”
“ Gak rugi, dong gue ngajak lo ke sini?” tanya Vella.
“ Iya. Makasih, Vel udah ngajak gue ke sini. Ternyata, selain unik, makanan di sini enak banget. Gak nyesel deh gue,” timpal Kay.
“ Eh, udah sore. Tadi kan gue rencananya mau nemenin lo ke suatu tempat, jadi, gak? Pergi sekarang aja. Ntar kemaleman pas nyampe rumah,” saran Vella.
“ Ok.”
Kay bersikeras membayar semua makanan dan minuman karena ia telah berjanji pada Vella, walaupun Vella sudah mengatakan bahwa dia hanya bercanda saja. Setelah melewati sebuah perdebatan kecil, Kay menepati janjinya dan membayar semua makanan dan minuman. Mereka pun pergi ke tempat yang memang ingin didatangi Kay.




“Vel, macet banget, nih!” ujar Kay.
“ Iya, gimana nih, padahal biasanya gak gini amat.”
“ Kalau kayak gini caranya, bisa malem banget baru nyampe rumah. Atau kita tunda aja. Besok aja, bisa?” tawar Kay.
“ Kalau besok, gak bisa. Gue udah ada janji sama temen-temen.”
“ Ya udah, hari Sabtu, deh. Bisa, kan?” tanya Kay.
“ O…. Bisa… Bisa,” jawab Vella sambil mengangguk-angguk.
“ Ya udah, kita pulang aja sekarang.”
Saking macetnya, perjalanan pulang ke rumah Vella juga memakan waktu berjam-jam. Vella pun tertidur karena kecapaian. Melihat hal itu, Kay tidak tega membangunkan Vella. Akhirnya, Kay menggendong Vella dan membawanya masuk ke rumah Vella.
“ Makasih, Kay udah nganterin adik gue balik. Gue jadi ngerepotin lo,” ujar Axelle tidak enak.
“ Santai aja, Xel. Malah gue yang ngerepoting adik lo.”
“ Duduk dulu, Kay,” Axelle mempersilahkan Kay duduk.
“ Gak usah, Xel. Udah malem. Gue pulang aja. Orang rumah udah nyari. Gue pamit dulu, Xel.”
“ O.. ya udah. Hati-hati di jalan, Kay. Thanks berat, ya.”
“ Bye.”
Axelle mengantar Kay sampai gerbang rumahnya sambil melambaikan tangan. Mobil Kay lama-kelamaan hilang dari pandangan mata Axelle, dia pun masuk ke rumah sambil tersenyum senang, senyum penuh arti.




Semakin lama, Kay dan Vella semakin dekat. Vella merasakan sesuatu yang beda terhadap Kay. Hari ini mereka berencana pergi, menuntaskan janji yang tertunda. Namun janji itu telah berubah. Bukan hanya pergi, mereka akan menginap di tempat itu. Pantai Parangtritislah tujuan mereka.
“ Ngapain, sih kita ke sini?” tanya Vella pada Kay.
“ Main-main, sekalian aku mau motret bintang jatuh,” jawab Kay santai.
“ Hah?! Mana bisa?”
“ Iseng aja, kalau gak dapet, juga gak pa-pa.”
“ Ya udah, sekalian refreshing setelah UN. Hehehe…”
“ Iya ya, kamu bentar lagi kuliah. Kamu nanti kuliah di mana?” tanya Kay.
“ Gak tau. Enaknya di mana, ya?” ujar Vella sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke kepalanya.
“ Di Bandung aja. Biar deket sama gue,” kata Kay.
“…,” Vella hanya diam. Mukanya memerah. Perasaannya bercampur aduk. Senang, tapi malu.
“ Kok mukanya merah gitu? Gak kok, gue cuma bercanda.”
“ Gue juga cuma kepanasan. Gue juga tahu kalo lo bercanda. Hahaha…,” kilah Vella sambil tertawa terpaksa. Dia berusaha menyembunyikan rasa malunya.
‘ Ternyata Kay cuma bercanda. Sepertinya gue terlalu banyak berharap. Gue terlalu ge-er,’ kata Vella dalam hati.
“ Sekarang kita ke rumah gue aja. Kebetulan gue punya rumah di sini. Jadi kita gak usah capek-capek cari penginapan,” ajak Kay.
“ Ok.”
“ Sekarang mendingan lo pergi tidur. Soalnya nanti kita bakal begadang sampai pagi. Nanti kalau udah waktunya, gue bangunin lo,” kata Kay sesampainya di rumahnya.
“ Oke, bos. Makasih ya,” jawab Vella sambil memberi hormat bak seorang polisi dan merekapun berlalu menuju ke kamar masing-masing.



Alarm jam di kamar Kay berbunyi. Dengan sisa-sisa kantukan, Kay bangun dari tempat tidurnya, mematikan alarmnya, dan kemudian berjalan menuju ke kamar Vella. Sesuai janjinya tadi, ia membangunkan Vella. Vella pun bangun, lalu mereka berdua bersiap-siap menuju Parangtritis.
Parangtritis mempunyai langit yang luas dan indah. Maka dari itu, Kay ingin sekali ke sana. Yogyakarta di musim kemarau memang aneh. Suhu kota jadi terasa dingin di malam hari, namun panas terik siang juga semakin menjadi-jadi.
Malam itu, langit cukup cerah. Ada banyak bintang, namun tiada bulan. Vella dan Kay duduk di pantai dengan beralaskan tikar sambil menghirup aroma khas laut. Ditemani semilir angin laut yang berhembus, Kay memasangkan teropong rakitan yang dipadupadankan dengan kamera, Vella ikut membantu Kay memasangnya. Lalu, perburuan pun dimulai.
Mereka tengkurap di tikar sambil menengadah ke langit. Beberapa kali Kay mencoba membidik bintang jatuh yang hanya muncul dua-tiga kali, tapi semuanya gagal. Yang ditangkap kameranya hanya gambaran gelap, hitam. Lama mereka berdiam diri. Akhirnya, Vella tidak tahan untuk menanyakan hal yang telah dipendamnya itu. Rasa penasarannya.
“ Kay, gue kayaknya pernah kenal sama lo, deh. Kayaknya dulu banget, tapi gue gak tahu di mana,” kata Vella membuka pembicaraan.
“ Kita kan dulu emang deket, Vel. Tapi emang udah lam banget. Udah 14 tahun yang lalu. Jadi, wajar aja kalau lo lupa,” jawab Kay sambil sesekali membidikkan kameranya.
“ Kok lo gak pernah bilang, sih?!” tanya Vella kesal.
“ Kan lo gak pernah nanya. Gue kira lo masih inget.”
“ O…”
“ Dulu gue pendiem banget. Sampai-sampai gak ada anak yang mau main sama gue. Tapi, kemudian lo dateng. Lo temen satu-satunya temen gue waktu itu…,” cerita Kay.
Ternyata Kay dulu adalah teman kecil Vella. Namun, tiba-tiba Kay bagai hilang hilang ditelan bumi. Tanpa kabar, tanpa pamit, Kay pergi. Vella waktu itu, merasa kehilangan Kay, namun seiring waktu, Vella dapat mengatasi rasa kehilangannya itu.
Pantas saja pada saat bertemu Kay di taman. Axelle sempat berkata ‘ Masih ingat?’ pada Kay. Niatnya yang waktu itu ingin menanyakan perkataan hal itu kek kakaknya, sudah terlupakan. Baru hari itu, dia mengingatnya kembali.
Sekarang rasa penasaran Vella terjawab sudah. Memang Kay sekarang sangat berubah. Menjadi lebih periang. Kacamatanya juga sudah tidak digunakannya lagi. Teknologi lasik mengubah semuanya dan Kay ternyata juga menggunakan teknologi itu.
“ Pantes aja. Gue ngerasa udah ngenal lo lama banget. Gue juga ngerasa nyaman dan nyambung banget sama lo.”
“ Coba aja gue certain itu dari awal. Pasti lo gak penasaran terus,” sambung Kay.
Tanpa terasa, waktu bergulir dengan cepat. Hari sudah hampir pagi. Namun, rasa kantuk belum menghinggapi mereka, saking antusiasnya membahas masalah itu. Walau begitu, Kay tetap mengajak Vella pulang. Sebaiknya mereka istirahat dulu, daripada nanti sakit, begitu pikir Kay.



“ Kay, kita jalan-jalan, yuk!” ajak Vella yang sedang bosan.
“ Ke mana?” tanya Kay.
“ Ke Malioboro aja. Mumpung udah di Yogya,” usul Vella.
“ Ok, deh.”
Jalan-jalan di Malioboro memang asyik. Pantas saja Malioboro banyak dikunjungi para turis. Salah satu bagian jalan dipakai oleh para pedagang kaki lima lesehan. Ada rumah makan, jajanan kecil, dan lain-lain. Walaupun rumah makannya hanya berupa lesehan dan terbuat dari tenda, di sana ramai sekali. Ada suatu daya tarik tersendiri saat kita mengunjungi tenda-tenda itu.
Setelah makan di salah satu tenda itu, Kay dan Vella berkeliling-keliling kota menggunakan dokar. Mereka juga sempat mampir ke beberapa toko yang menjual oleh-oleh khas Yogyakarta. Sambil memilih-milih barang, mereka bertukar cerita, satu sama lain, Kay pun sempat mengutarakan isi hatinya.
“ Vel, gue mau tanya sesuatu.”
‘ Jangan-jangan Kay mau nembak gue?! Wah, seneng banget,’ pikir Vella kesenangan.
“ Vel, lo dengerin gue gak sih?” tanya Kay sambil melambaikan tangannya di depan muka Vella.
“ Eh, iya. Sorry. Lo tadi mau tanya apa? Ngomong aja.”
“ Temen sekelas lo yang anak cheerleader itu, siapa namanya?”
‘ Kirain mau nembak, ternyata…’ pikir Vella sebal.
“ Vel, kok ngelamun lagi?” tanya Kai yang merasa tidak didengarkan.
“ Eh, nggak ngelamun kok. Oh ya, pertanyaan lo tadi. Di kelas gue, anak cheerleadernya, jadi yang mana?” tanya Vella dengan setengah hati.
“ Yang rambutnya panjang, agak ikel, cantik, tinggi, putih. Siapa namanya?” tanya Kay dengan sangat antusias.
“ Oh, itu Chiara. Emang kenapa? Lo naksir?” tanya Vella dengan raut muka sedikit khawatir.
“ Mungkin. Kayaknya orangnya baik, menarik, cantik lagi. Gue tertarik sama dia. Berhubung lo temen sekelasnya, kenalin ke gue, dong?” pinta Kay.

Hati Vella mencelos. Ternyata, Kay tidak memiliki perasaan khusus terhadap dirinya. Padahal, dia sudah merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Kay, yang rasanya makin lama, makin kuat saja rasa itu. Semua harapannya kepada Kay, pupus sudah. Memang Chiara itu tipe pacar impian. Tinggi, langsing, cantik, putih, dan juga dia anggota tim cheerleader.
“ Vel, jangan ngelamun lagi. Seharian ini gue perhatiin, udah 3 kali lo kayak gini. Ada apa, sih?” tanya Kay khawatir.
“ Hehehe… Gak ada apa-apa. Tenang aja. Gue usahain deh, soalnya gue gak terlalu deket sama dia.”
“ Makasih, Vel!” kata Kay yang tersenyum dengan lebarnya, sementara Vella hanya bisa menahan perih hatinya.



Sejak saat itu, Vella menjadi sering sekali harus mendengarkan curhatan Kay tentang Chiara. Kay juga selalu menanyakan segala sesuatu yang berkaitan dengan Chiara. Tentu saja hal itu membuat Vella semakin hari semakin jengah.
Seperti perayaan-perayaan kelulusan di sekolah-sekolah lain, sekolah Vella mengadakan prom nite. Para siswa-siswi harus membawa pasangan ke acara itu, entah itu kakak, adik, teman, ataupun pacar.
Prom nite akan diadakan 2 minggu lagi, namun Vella belum menentukan siapa yang akan menjadi pasangannya. Dia masih berharap kepada Kay. Dia ingin sekali mengajak Kay, tapi setelah mengingat curhatan Kay, Vella mengurungkan niatnya, dia yakin Kay akan menolaknya.“ Vel, kalo gue ke prom nite sama Chiara, oke gak?” tanya Kay meminta saran.
“ Emang Chiara udah ngajak lo?”
“ Udah, tapi gue belum jawab.”
“ Lho, kenapa?” tanya Vella heran.
“ Gak apa-apa, cuma adalah sedikit masalah. Kalau udah kelar, baru deh gue kasih jawabannya.”
“ Masalah apaan sih?” tanya Vella penasaran.
“ Ada deh. Mau tahu aja! Lo sendiri gimana? Lo pergi sama siapa?” tanya Kay.
‘ Gue pengennya sama lo, Kay. Tapi, lo kayaknya lebih milih Chiara daripada gue,’ jawab Vella, hanya dalam hati.
“ Gak tahulah. Itu juga bukan urusan lo!” jawab Vella dengan ketus. Tiba-tiba suasana hatinya memburuk.
“ Mendingan lo pulang sekarang. Gue mau tidur!” Vella mengusir Kay.
“ Sana! Sana!” kata Vella seraya mendorong Kay ke arah pintu depan rumahnya.
“ Ya udah deh, gue pulang dulu. Sampai ketemu besok, Vel.”
Setelah itu, Vella langsung masuk ke kamarnya. Dia menangis. Sikap Kay yang sangat baik dan manis kepada Vella membuat Vella semakin berat melupakan Kay. Andai saja Kay menolaknya, menjauhi, atau membencinya sejak awal. Pasti rasa sakit itu tidak sedalam yang dialaminya sekarang.
Vella sadar. Dia tidak seharusnya mendengarkan curhatan Kay tentan Chiara. Itu penyebab utama hatinya sakit. Dia juga sudah jenuh. Selama ini dia berusaha terlihat senang dan tidak cemburu ketika Kay berbicara tentang Chiara. Selama ini dia menutupi perasaannya karena ia takut Kay akan menjauhinya saat Kay mengetahui yang sebenarnya.
Ia pun memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia akan menghindari Kay selama beberapa waktu, sampai dia benar-benar siap untuk mengatakan hal itu kepada Kay, sehingga tidak akan ada penyesalan di kemudian hari.



Vella semakin menghindari Kay, baik saat Kay datang ke rumahnya, menjemputnya di sekolah, maupun saat ditelepon dan di-sms. Kay bingung terhadap semua sikap Vella.
Sampai suatu hari, Kay datang ke rumah Vella tiba-tiba, karena itu juga Vella tidak bisa menghindar dari Kay. Vella belum siap benar menghadapi Kay, emosinya masih sedikit labil.
Tok..tok..tok…
“ Vel, ini gue, Vel,” kata Kay sambil mengetuk pintu kamar Vella.
“ Ngapain lo ke sini? Lo pergi aja.”
“ Gue mau ngomong, Vel.”
“ Ngomong aja, gue juga bisa denger dari sini.”
“ Vel, kok akhir-akhir ini lo ngehindarin gue? Ada apa, Vel?”
“ Bukan urusan lo, Kay. Mendingan lo urusin Chiara aja. Dia lebih penting!” teriak Vella yang mulai meneteskan air mata.
“ Kok lo sinis banget ngomongnya?”
“ Bukan urusan lo. Gue mau sinis, mau enggak. Itu bukan urusan lo.”
“ Tentu aja itu urusan gue.”
Karena tidak tahan lagi. Vella membuka pintunya yang tadi terkunci dan menemui Kay. Siap tidak siap, sekarang dia harus mengakhiri semuanya.
“ Apa maksud lo? Emangnya lo siapa gue?” tanya Vella yang semakin terisak.
“ Asal lo tahu aja! Gue suka sama lo, Kay. Betapa hancurnya gue saat gue tahu ternyata lo suka sama Chiara. Harapan gue hilang. Betapa sakitnya gue pas lo ceritain tentang Chiara, tanya tentang Chiara, semuanya Chiara, Chiara, dan Chiara. Gue emang salah saat gue nutupin perasaan gue dan berpura-pura setuju dan seneng tentang semua rencana lo buat Chiara,” ujar Vella mengungkapkan semua perasaannya yang diiringi tangisnya yang semakin deras.
“ Vel, gue ma…”
“ Dengerin gue sampai selesai!” perintah Vella menghentikan perkataan Kay.
Vella diam sejenak, kemudian berbicara kembali.
“Gue sadar, gue gak pantes buat lo. Gue dan Chiara itu bedanya kayak ilalang dan mawar. Chiara seperti mawar yang indah dan menggoda, sedangkan gue ilalang yang jelek dan gak enak dipandang. Maka dari itu, hari ini gue mutusin untuk mengakhiri semuanya. Gue gak kuat buat nyimpen semua ini. Terserah lo mau beranggapan apa soal gue sekarang. Lo mau ngebenci gue, gue juga gak apa-apa. Sekarang gue lega,” kata Vella dengan sisa-sisa tangisannya.
“Huuuhhh…,” Vella menghembuskan dan mengambil nafas sejenak.
“ Sekarang gue udah bisa ngelepasin lo buat Chiara. Gue bakal seneng ngeliat lo seneng dan bahagia sama Chiara. Buat gue, lo udah tahu perasaan gue aja udah cukup. Gue juga udah bisa terima semuanya. Gue udah siap kehilangan lo sebagai temen gue. Emang lo bukan jodoh untuk gue. Gue cuma bisa bilang selamat buat lo dan Chiara, semoga bahagia…,” ucap Vella mengakhiri semua perkataannya.




Sesudah berkata demikian, Vella menundukkan kepalanya di hadapan Kay. Dia belum sanggup menatap Kay. Vella sudah pasrah. Namun, tiba-tiba dua buah tangan memeluknya erat. Vella berkhayal dia dipeluk Kay saat itu juga. Tetapi rasanya pelukan itu begitu nyata, begitu hangat.
Vella menengadahkan kepalanya dan ternyata benarlah bahwa hal itu bukan khayalannya. Pelukan itu nyata. Kay memeluknya. Vella tidak bisa berkata apa-apa saking senang dan terkejutnya.
“ Vel, kenapa lo baru nunjukkin rasa cemburu dan suka lo sekarang? Gue udah lama nunggu lo nunjukkin hal itu!” katanya.
“Sebenarnya gue udah suka sama lo sejak kecil, Vel. Gue seneng banget pas ketemu lo di taman itu,” jelas Kay.
“ Lo bohong, kan? Lo pasti cuma kasian sama gue, makanya lo ngomong kayak gitu,” tuduh Vella yang kemudian mendorong Kay menjauh darinya. “ Lebih baik lo kembali ke Chiara.”
“ Gue gak bohong, Vel. Gue serius,” tegas Kay.
“ Lo bohong! Gue tahu diri, kok! Gue ibarat ilalang, sedangkan Chiara itu mawar. Di mana-mana, orang pasti milih mawar daripada ilalang. Jangan mainin gue, Kay. Gue gak mau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Gue udah cukup menderita!”
“ Gue gak bohong, Vel. Gue ngomong yang sejujurnya sama lo. Andai kamu ilalang dan Chiara itu mawar. Aku bakal tetep milih ilalang itu,” ujar Kay.
“ Ucapan gue suka Chiara itu bohong. Gue gak pernah suka sama Chiara. Dari dulu sampai sekarang, cuma lo yang ada di hati gue, Vel,” jelas Kay sambil memegang kedua bahu Vella.
“ Gimana gue bisa percaya? Lo aja udah bohong sama gue?”
“ Gue terpaksa ngelakuinnya. Gue juga gak tega ngeliat lo kayak gini. Gue gak nyangka lo bakal menderita banget kayak gini. Gue kira lo gak suka sama gue. Ini cuma strategi gue. Gue mau tahu apa lo suka sama gue apa enggak. Sikap lo selama ini gak menunjukkan bahwa lo suka sama gue. Lo keliatan biasa-biasa aja. Makanya, gue bikin strategi ini. Gue minta maaf, Vel. Lo mau kan maafin gue dan jadi pacar gue?” ujar Kay berusaha meyakinkan Vella.
Vella menatap kedua mata Kay lekat-lekat. Tidak ditemukannya suatu kebohongan di mata itu, malah sorot mata itu sangat teduh, membuat Vella merasa nyaman dan terlindungi. Yakinlah Vella bahwa ternyata Kay tidak berbohong.
Vella menjawabnya dengan senyum. Senyum yang berarti iya. Iya yang berarti dia memaafkan Kay dan iya yang berarti dia mau menjadi pacar Kay.
Melihat itu, Kay tersenyum senang, kemudian dia maju dan memeluk Vella. Di sela-sela pelukan itu, Vella bertanya,” Kay, kenapa kamu memilih ilalang, bukan memilih mawar? Padahal mawar itu kan sangat indah dan ilalang tidak dapat menandinginya.”
“ Vella, mawar itu memang indah, namun bila tidak hati-hati, kita bisa tertusuk duri mawar. Mawar memang memiliki mahkota yang indah, namun mahkota itu hanya berfungsi untuk menutupi durinya. Mahkota yang cantik itu hanya sebagai tameng untuk menutupi semua keburukan mawar. Coba bayangkan mawar tanpa mahkota yang indah, namun berduri. Tidak ada seorangpun yang akan meliriknya. Sedangkan ilalang itu sangat alami, dapat tumbuh di mana saja dan juga tidak mudah dihilangkan. Seperti ilalang di padang rumput, sangatlah indah. Ilalang tidak memerlukan mahkota untuk mempercantiknya karena ilalang memiliki kecantikan tersendiri. Kealamiaannya melambangkan kepolosan dan kejujuran. Sifat tidak mudah dihilangkan itu memancarkan semangat hidup yang tinggi. Intinya, kamu itu ilalang dan kamu itu unik,” begitu ujar Kay seraya tersenyum dan menyentuhkan telunjuknya ke hidung Vella.




-----------------------------------------------------------

Sadar

Karya: Jessica Bakri

Tuhan memang punya caranya sendiri dalam menyadarkan orang yang “liar” seperti aku. Menurut beberapa orang, cara Tuhan menyadarkan mereka sangat majestic, atau apa sajalah yang mereka sebut Maha Kuasa dan Pengasih. Tapi menurutku, cara Tuhan terhadapku sangat menyakitkan. Menyakitkan hingga aku ingin mati rasanya, tapi, seperti yang kukatakan tadi Tuhan itu Maha Kuasa. Karena, aku tidak punya nyali untuk mengakhiri hidupku sendiri. Adapun aku nyali untuk itu, tapi, kembali lagi Tuhan itu Maha Kuasa, karena akhirnya aku tetap tidak mati jua.
Aku ingin bercerita tentang awal mula semua kejadian buruk yang kualami, walau aku sendiri juga tidak tahu dari mana harus memulai. Namun sebelumnya akan kuperkenalkan dulu diriku, namaku adalah Erina Soedibyo. Tapi panggil saja Erin. Nah kupikir mulai dari sini saja.

AWAL

Aku ingat betul, waktu itu adalah hari minggu pagi yang mendung. Semalam, hujan turun dengan derasnya bagaikan ada selang besar yang menyemprotkan airnya dari langit. Waktu kecil aku selalu berpikir kalau hujan terjadi karena ada seorang malaikat yang menyiram bumi dengan air dengan menggunakan selang besar seperti yang digunakan Pak Mudi -sopirku- untuk mencuci mobil. Tapi lama kelamaan, setelah aku dewasa pikiran itu terasa sangat konyol, terutama untuk pikiranku yang tak kalah konyol dan bodohnya.
Kembali lagi pada ceritaku. Pagi itu, ibuku datang mengetok kamarku. Aku masih tidur saat itu, padahal jam di dinding sudah menunjukan angka sepuluh.
“Sayang, ayo bangun. Sudah jam sepuluh ini, kita akan pergi ke gereja kan?” panggil ibuku seraya mengelus kepalaku.
“Mmm….” Erangku sambil menampik tangannya yang dikepalaku.
“Ya sudah, tapi cepat bangun yah. Nanti sarapannya sudah keburu dingin.” kata ibu. Ibuku pasti selalu menyerah kalau sudah berhadapan denganku, karena pasti aku akhirnya mengeluarkan suatu kata bodoh yang menyakitinya. Sekarang aku baru sadar bahwa ibuku selalu mengasihiku dan hanya menginginkan yamg terbaik untukku. Namun, tentu saja dulu aku tidak menyadarinya dan menganggapnya seorang tua yang menyebalkan, cerewet dan sebagainya.
Setelah itu ibu keluar dan menutup pintunya kembali. Di dalam kamar, aku mengutuk ibuku. “Menyebalkan, apa dia tidak tahu bahwa aku sedang tidur?” Dalam keadaan masih mengantuk, aku bangun dan berjalan kearah meja rias di depan tempat tidurku. Aku berkaca sejenak, menyisir rambut panjangku dan mengikatnya menjadi seperti ekor kuda. Setelah menyisir aku keluar dari kamar, dan telah menyiapkan wajah merengut kalau-kalau ada ibu di depan agar ia tidak banyak omong lagi. Tapi ia tidak ada di ruang tengah itu, jadi kubuang wajah merengut itu. Aku berjalan sambil menggosok-gosok mata kearah ruang makan, lalu duduk dan menuangkan segelas susu. Baru saja susu itu kuminum seteguk , tapi ibu datang dengan tiba-tiba dari belakangku dan meletakkan tangan kurus kecil bak hantu miliknya itu ke pundakku. Aku terkejut setengah mati, susu yang kuminum tadi keluar kembali melalui semburan kecil dari mulutku. Lalu kubanting gelas itu ke meja.
“Uh! Apa perlu datang dari belakang seperti hantu begitu? Mama ingin membuatku jantungan dan mati?” kataku ketus sambil mengelap ceceran susu di bibirku.
“Ya ampun, maaf. Mama tidak tahu kalau kamu akan terkejut sampai begitu.” Balasnya, sambil sibuk membantuku mengelap mulutku dengan lengan bajunya.
Namun aku menepis tangannya. “Sudah, jangan pegang-pegang!” Sambarku, masih dalam keadaan terkejut dan marah. Lalu aku kembali ke kamarku sambil sedikit menghentak-hentakkan kakiku.
Di dalam kamar, kembali lagi aku mengutuk ibuku dengan mengomel-ngomel sendiri. Ah merusak pagiku saja, orang tua itu. Baru saja akan minum sudah dikejutkan seperti itu, pikirku sendiri. Lalu aku duduk di tepi ranjang dan mengambil handphoneku. Aku membuka daftar kontakku dan memulai mencari-cari.
“Hmm, siapa yang yang enaknya diajak? Imel, Helda, atau Ivi yah.. ah, Imel aja. Helda cerewet, pasti banyak membualnya lagi.” Kataku sambil tetap menekan-nekan teleponku. Dan akhirnya kutelepon Imel, tapi nadanya sedang sibuk. Dan setelah beberapa saat ada pesan masuk.

“Bentar Rin, lagi di gereja. Anyway, kamu tidak datang yah?”

Oh iya, hari minggu. Sial. Membosankan sekali kalau harus pergi ke gereja, pikirku. Ah, kabur saja.
Lalu aku cepat-cepat masuk ke kamar mandi dan mandi dengan cepat, keluar dan mengeringkan rambutku sebentar dengan mesin pengering rambut. Setelah itu, aku berdandan, memilih baju, dan setelah beberapa saat akhirnya aku selesai. Aku segera mengambil tasku dan keluar dari kamar.
Namun baru selangkah aku berjalan, ibu memanggilku dari belakang.
Sial. Mau apa lagi sih.
“Sayang, mau kemana?” kata ibuku. Aku juga memperhatikan bahwa mama sudah berganti pakaian dan kelihatannya akan pergi.
“Bukan urusan mama.” Balasku ketus.
“Mm, bukannya kita akan ke gereja?”
“Aduh, tolong. Untuk apa pergi ke gereja? Tidak berguna, lagi pula sangat mengantukkan disana.”
“Ya Tuhan, kenapa bicara seperti itu…” omongan ibuku terputus karena aku menyela.
“Sudah, simpan saja ceritanya nanti. Aku mau pergi. Bye…”

Lalu aku berjalan membelakangi ibuku. Aku tahu pasti dia kecewa denganku. Tapi, apa peduliku? Pikirku saat itu.

TENGAH BAGIAN 1

Segera setelah keluar rumah dan mengambil mobilku, aku melaju kencang ke tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu.
Seingatku waktu itu sudah mendekati tengah hari, namun bar tersebut masih sepi hanya ada beberapa orang. Karena bosan sekali, akupun berjalan ke sebuah mall disebelah. Setelah berjalan sejenak, handphoneku berdering dan akupun mengangkatnya.
“Hoi Rin, dimana? Kamu tidak ke gereja ya?” tanyanya sambil berdecak heran.
“Tidak. Habisnya, males sekali harus kesana dan mendengar orang-orang itu berdongeng ria. Ngomong-ngomong, aku sedang di tempat biasa kutunggu kalian yah.” Kataku sambil memutus telepon segera selesai bicara.
Singkat cerita, akhirnya temanku datang dan kami sempat berjalan-jalan, memasuki beberapa toko pakaian, makan siang, dan pada sekitar pukul 7 kami kembali ke bar disebelah dan berpesta.
Aku sedang berjoget ria saat pacarku Daniel datang. Ia langsung datang menghampiriku dan mengajakku duduk.
Daniel adalah pacarku yang baru setelah sekian banyak lelaki hidung belang yang kukencani, dan ia, masih termasuk dalam kategori lelaki hidung belang. Hanya, tentu saja aku tidak peduli saat itu. Aku tidak mau tahu hal lain tentangnya karena aku jatuh cinta padanya, atau setidaknya untuk saat itu.
“Hey, kamu sudah datang lebih dulu?” katanya sambil mengelus rambutku.
Uh, jika kuingat hal itu sekarang. Aku benci sekali, baik pada diriku maupun pada Daniel. Tapi apa daya kalau Tuhan sudah berkehendak?
Ok, berhenti menyesali diri sendiri, dan sekarang kembali pada ceritaku.
“Hey juga, ya aku sudah di sini dari beberapa jam yang lalu. Kemana saja sih? Lama sekali baru datang.” Balasku sambil sedikit menggunakan gerakan tubuh dengan maksud menggodanya. Dan, ia pun tergoda.
Lucu sekali bila diingat bahwa dulu aku perlu menggodanya. Aku benar-benar seperti orang buta saat itu. Sekarang aku sering berpikir, seandainya waktu itu aku tidak menggodanya sama sekali. Kurasa ia akan tetap melakukan apa yang selama ini memang diincarnya dariku. Uang dan tentu saja diriku sendiri.
Dan, setelah proses menggoda berlangsung kita semua tahu kemana hal ini berakhir. Dia mengajakku meninggalkan tempat itu dan pergi bersamanya. Tentu saja aku tidak menolaknya saat itu, dan mau saja diajak pergi. Tidak sadar apa yang dipertaruhkan dalam pergaulan bebas macam itu.

TENGAH BAGIAN 2

Dalam perjalanan ke rumahnya, kami hanya duduk diam mendengarkan musik. Lalu setelah beberapa saat, Daniel mulai berbicara.
“Apa acaramu tadi pagi?” Tanyanya.
“Tidak ada yang khusus, hanya duduk-duduk saja lagi pula aku hanya sebentar berada di rumah. Kalau kamu?”
“Yah, kurang lebih seperti itulah. Haha…
Saat tengah berbicara, aku memperhatikan bagian bawah kursiku. Sepertinya aku melihat sesuatu. Lalu setelah beberapa saat melihat akhirnya aku memutuskan untuk mengambilnya.
Alangkah terkejutnya aku saat melihat bahwa itu adalah sebuah pakaian dalam wanita dan yang pastinya bukan milikku.
Sontak aku langsung memukulnya dengan pakaian dalam itu. Mobil yang dikendarainya dengan kencang dari tadi agak oleng sejenak sebelum akhitnya dia melihat benda tersebut dan berpaling padaku.
“Siapa?” tanyaku dengan suara agak bergetar menahan amarah.
“Siapa apa? Tidak ada siapa-siapa selain kamu sayang. Percayahlah.” Jelasnya dengan raut wajah memelas memohon agar aku mempercayainya. “mungkin milik kakakku yang terjatuh saat aku mengantarnya kemarin.” Lanjutnya masih mencoba meyakinkanku.
“Oh yah, kamu pikir aku bodoh? Hah?! Kakakmu tidak akan pernah membuka pakaiannya didalam mobilmu. Brengsek…bangsaaat…”teriaku sambil kembali memukulnya.
Tapi ia memegang tanganku terlebih dahulu sebelum aku kembali mengayunkan tanganku.
“Turunkan aku sekarang juga.” Kataku dengan suara yang dalam.
“Tidak.”
“Turunkan aku sekarang juga, lelaki brengsek!”
“Tidak akan.” Jawabnya dengan tegas.
Kesal, akupun meraih setirnya dan membelokkan setirnya dengan keras, namun terlambat sudah. Aku tidak melihat bahwa didepan ada sebuah truk yang melaju sama cepatnya.

AKHIR

Aku bangun keesokan harinya diatas sebuah ranjang rumah sakit. Aku tidak dapat merasakan apapun, seperti mati rasa dan hanya merasakan sedikit kesemutan sedikit.
Aku mencoba bangun dari ranjang, namun baru saja akan bangun aku sudah terjatuh lagi. Pandanganku menjadi hitam seketika. Ahh, kenapa aku. Sakit sekali rasanya.
Kemudian seolah terbangun oleh gerakanku, seseorang datang menghampiri ranjangku. Samar-samar aku melihat sosok yang kurus, pucat dengan rambut diikat setengah kebelakang. Setelah penglihatanku membaik sejak usahaku untuk bangun tadi, aku baru melihat wajah orang tersebut. Ia menangis sesunggukan dengan sedih sekali. Wajahnya spontan terlihat sangat tua dan berkerut. Aku jadi ikut menangis karenanya.
“Sayaang…” panggil ibuku pelan. “Kamu tidak apa-apa? Mama terkejut sekali…” lanjutnya, namun tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena ia kembali menangis sejadi-jadinya.
“Aku… kenapa?”
“Kamu kecelakaan sayang. Mobilmu ringsek dan hancur. Sungguh puji Tuhan sayang. Puji Tuhan..”
“aku…” aku mencoba bangun kembali, tapi ibuku menahanku.
“Sayang, jangan.. Kamu istirahat saja.” Kulihat wajahnya kian bertambah pucat dan ia kelihatan gugup.
“Aku mati rasa. Aku ingin duduk. Kakiku mati rasa dan kesemutan.” Rintihku sambil mencoba bangun kembali.
Aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku, aku benar-benar tidak bisa merasakan kakiku. Apakah kemarin terjepit? Namun tersentak sejenak, aku melihat kearah selimutku. Kenapa selimutnya ada bercak darah dan kempis..
Setelah berhasil bangun sedikit. Aku melihat ibuku, namun ia menutup matanya dan menangis. Penasaran kuangkat selimut tersebut. Namun dibawah selimut tersebut tidak ada apa-apa, tidak ada bantal dan tidak ada kakiku.
Seingatku, hari itu aku meraung-raung seharian. Ibuku hanya ikut menangis sambil mencoba menenangkanku, namun aku tidak bisa tenang sampai akhirnya dokter datang dan memberikan aku obat penenang.
Sungguh bodoh sekali aku ini. Andai saja pagi itu aku tidak pergi keluar melainkan pergi ke gereja bersama ibuku, andaikan saja aku tidak pernah berteman dengan orang-orang itu, andai saja aku dulu bukanlah orang kurang ajar dan brengsek, semua kesialan ini tidak akan terjadi dan lebih lagi aku tidak akan dan tidak perlu kehilangan kedua kakiku.
Tapi itu semua hanya berupa pengandaian. Andaikan…andaikan…dan andaikan. Sekarang semua hal itu tidak berarti lagi. Tidak ada lagi pengandaian untukku, karena aku sudah tidak bisa lagi berandai-andai. Aku sudah rusak.

Sekarang, setelah 2 tahun berlalu sejak musibah itu, aku adalah orang yang benar-benar baru. Aku tidak lagi pergi keluar saat malam (dan tentu saja tidak bisa karena aku tidak punya kaki dan tidak bisa memakai celana atau sepatu bagus lagi. Haha..lucu sekali). Hubunganku dengan ibuku membaik. Beberapa waktu setelah pulang dari rumah sakit waktu itu, aku meminta maaf pada ibuku. Aku tahu walaupun aku sampai bersujud dan menyembah, dosaku terhadap ibuku tidak akan hilang. Tetapi ia bilang bahwa ia tidak dan tidak akan pernah membenciku, ataupun menyesal telah melahirkan anak sepertiku, dan ia benar-benar telah memaafkanku sepenuhnya.
Aku sempat beberapa kali mencoba untuk bunuh diri, namun walaupun aku telah “berusaha keras”, tetap saja, aku tidak juga mati. Aku malah berakhir dirumah sakit, dan semakin menderita.
Akhirnya aku berhenti melakukan “usaha” tersebut. Aku pasrah pada apa yang akan terjadi. Kenyataannya, memasrahkan semuanya dengan mata terbuka lebih mudah dilakukan daripada mencoba mengatasinya tetapi dengan mata tertutup.
Setelah kecelakaan itu, aku merasa aku menjadi dekat kepada dua orang. Pertama adalah ibuku. Dulu aku membencinya karena aku selalu dianggap anak kecil, namun sekarang kenyataannya aku tidak bisa hidup tanpa bantuannya. Aku sangat bersyukur sekali mempunyai ibu yang penyayang seperti itu. Kemudian, orang kedua adalah Bapa-ku. Tuhan telah menjadi penerang, dan pendamping bagiku dalam jalanku yang suram dulu.
Sekarang, aku aktif dalam pelayanan di gereja. Aku menghabiskan waktuku sehari-hari di gereja, karena hanya didalam gereja aku merasakan damai dan aman. Untuk jujur, aku lebih merasa nyaman pada kehidupanku sekarang daripada dulu, walaupun dulu aku juga sempat merasakan senang. Aku telah tersadar sekarang dan cara Tuhan menyadarkanku memang menyakitkan, tetapi membawa hikmah yang berlimpah dibaliknya.

__________________________________

Rumitnya PDKT

Oleh: William halim (38)


Hari ini adalah tahun ajaran baru bagi Willy yang sekarang menduduki kelas 3 SMA. Tahun ini Willy dapat sekelas lagi dengan semua sahabatnya yang bernama Selly, Kevin, dan Karen. Mereka sudah bersahabat dari SMP dan selalu bisa mendapat kelas yang sama. Untuk kali ini, Willy duduk dengan Kevin dan Selly duduk dengan Karen yang duduk di baris ke 4 dari pintu dan urutan ke 2 dari belakang.
“Wuih, enak ya kita bisa sekelas terus jadi tiap ada pelajaran yang ngebosenin kita bisa bicara daripada bengong ga jelas,” kata Willy sambil menepuk bahu Karen yang kelihatnnya sedang sibuk sendiri dengan buku hariannya.
“Iya sih, tapi kalau kayak gini terus mana bisa ranking kita naik, soalnya kalian ribut terus sih,” ujar Karen lalu melanjutkan menulis buku hariannya lagi.
“Benar juga tuh. Tapi pelajarannya gak susah-susah amat sih, kecuali untuk biologi, merinding rasanya tiap kali aku denger info soal ulangan biologi. Mana gurunya punya mata jaipong gitu, pinter banget ngawas kita kalau lagi ujian,” kata Selly.
“Hmmmm, menurutku sih gak susah. Biologi itu mudah kalau kamu memperhatikan guru menjelaskan dengan baik,” kata Willy memberikan nasehat.
“Terserah deh tentang pelajaran ini, kita juga kan baru naik kelas. Nikmatin aja dulu, kayak aku, pulang sekolah nanti langsung main PS3 ada game baru yang keren abis,” kata Kevin sambil tertawa yang tiba-tiba terdiam ketika melihat seorang cewek cantik yang masuk juga ke kelas itu.
“Lanca Bana Will, liat tuh cewek cuantik buanget!” bisik Kevin kepada Willy, Selly dan juga Karen. Willy pun langsung melihat kedepan dan melotot memang cantik betul cewek itu.
“Ada yang tahu siapa cewek itu??” tanya Willy dengan penuh antusias.
“Elie, Elie Bukhari Setiawan tepatnya. Dia seorang murid yang sangat pintar tidak sama dengan kamu, Will. Memang kenapa tanya-tanya?—“ jawab Selly dengan cepat seperti elang yang mau menangkap ular. ”Atau jangan-jangan kamu naksir ya dengannya?” tanyanya dengan penuh antusias.
“Ngawur kamu. Kalaupun iya memangnya kenapa?” jawab Willy sewot namun terlihat banget kalau dia malu-malu juga.
“Cieeeee, sudah besar nih adik kecil kita,” kata Karen yang tiba-tiba langsung menutup buku hariannya itu.
“Ini yang enggak aku suka, kalau udah soal gosip, langsung deh kumat penyakitnya, ngomong nonstop 3 hari 3 malam,” Willy menggelengkan kepalanya.
”Terserah, bueeee—“ Jawab Karen. ”Tapi serius nih kamu naksir dengan dia?”
“Mungkin...” jawab Willy.
Saat itu Elie segera menghampiri kedua sahabatnya yaitu Michelle dan Vanny. Semua orang tahu bahwa mereka itu trio genius kecuali Michelle yang sesungguhnya hanya pintar di Biologi dan seni saja.
“Lie, kamu duduk di depan aja tuh masih kosong,” kata Michelle sambil merapikan kertas yang ada dimejanya.
“Gimana liburanmu? Enak ga Lie?” tanya Vanny.
“Lumayan lah, bisa ke puncak yang sejuk, beda dengan disini,” jawab Elie sambil merapikan tasnya.
Bel sekolah pun berbunyi dan ini saatnya guru wali kelas masuk ke kelas mereka masing-masing.
“Siapa ya kira-kira wali kelas kita? Jadi penasaran aku.”, kata Kevin.
“Berdoa dulu moga-moga ga dapet Pak Sukirmanto. Wuih guru kesenian yang satu itu gak enak banget,” jawab Selly dengan cepat sambil komat-kamit baca doa.
“Pak Sukirmanto? Oh, Pak botak yang genit itu ya? Amit-amit deh.”, jawab Kevin sambil menggigil.
“Bapak itu baik juga kok. Tiap aku gak bisa gambar pasti dibantunya,” ujar Karen yang kembali sibuk dengan buku hariannya itu.
“Dia kan seneng sama cewek yang rajin kayak kamu,” kata Selly dan Kevin berbarengan.
Sejak Elie masuk ke kelas dari tadi Willy selalu memperhatikannya terus-menerus. Sepertinya ia sangat terpaku dengan kecantikan Elie. Tiba-tiba masuk seseorang seumuran 40 tahun dengan kepala botak mengkilap dan langsung duduk di meja guru.Ternyata itu pak Sukirmanto!



“Akkhh!!! Kayaknya aku harus ganti kacamata deh. Gila masak aku ngelihat yang duduk di depan itu pak kinclong?” teriak Kevin yang terkejut melihat Pak Sukirmanto masuk ke kelas. Murid-murid yang lain hanya menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepalanya maklum. Satu kelas, bahkan satu sekolah sudah tahu bahwa Selly,Willy, dan Kevin merupakan trio musuh berat Pak Sukirmanto. Tetapi mereka selalu selamat dari hukuman pengusiran keluar dari kelas karena Pak Sukirmanto senang dengan Karen, yang berarti kalau trio itu diusir keluar kelas, Karen juga bakal ikutan keluar. Guru kesenian itu tidak tega melihat Karen berdiri di depan kelas, karena itu selalu dibiarkan sampai sekarang mereka memasuki tahun ketiga.
“Diam kau Kevin, pusing sudah bapak melihat mukamu itu,” perintah sang guru kesal memandang tajam salah satu muridnya yang paling menyebalkan itu.
“Memangnya aku gak bosan apa 3 tahun ngeliat kepala botaknya itu, hahahahaha,” balas Kevin sambil tertawa dengan Selly. Karen yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya saja.
Lalu Pak guru mulai mengabsen murid satu-persatu dan kemudian tibalah giliran Willy yang termasuk berada di absent atas.
”Andreas Willy santoso.” Willy tidak menjawab, ia masih saja sibuk memperhatikan Elie yang sedang tertawa lepas bersama kedua temannya.
“Ui, itu namamu dipanggil jangan ngelamun aja dong.”, kata Kevin.
“I-iya pak. Eh?! Gila!!!!!!! KENAPA ADA PAK KINCLONG DISINI?” teriak Willy kaget melihat wali kelasnya untuk tahun ini adalah musuh besarnya.
“Diam kau Willy, sekarang aku sudah menjadi wali kelas kalian, tolong hormati saya,” kata Pak Sukirmanto kesal.
“Baik, Pak,” sahut Willy ogah-ogahan dan kemudian kembali duduk. Matanya melihat Elie lagi yang ternyata sedang tertawa dengan kedua sahabatnya itu akibat perilaku Willy.
“Wuih, manis banget itu cewek kalau lagi senyum,” kata Willy yang kembali menatap Elie dengan penuh kagum.
“Woi, bangun! Udah mulai belajar. Jangan ngelamun aja.”, ucap Selly.
“Iya-iya,” jawab Willy menatap sekilas ke arah Elie lagi dan kemudian mengobrol dengan ketiga sahabatnya seperti biasa.
Tak lama kemudian masuklah Boby, seorang cowok yang sangat nakal dan selalu membuat onar di kelas. Walaupun Willy juga suka buat onar, setidaknya tidak separah Boby yang terkadang keterlaluan.
“Maaf, Pak, saya terlambat.”
“Kamu ini, bahkan di awal tahun ajaran baru saja terlambat. Pakaianmu itu tidak rapi lagi. Cepat masukkan seragam kamu itu—“ tegur pak Sukirmanto tegas. ”Sudah cepat duduk sana.”
“Baik, Pak,” jawab Boby yang dengan cepat dan lalu mencari tempat duduk. Saat itu teman baiknya, Agus dan Latif sudah duduk berdua di belakang dan mereka menunjuk kearah Elie terus yang ternyata duduk sendirian.Semua murid juga tahu bahwa Boby sudah lama mengincar Elie. Dia segera duduk disana dan memulai percakapan.
“Gimana liburanmu Lie?”
“Lumayan,” jawab Elie dengan ramah, tidak seperti kedua teman baiknya Michelle dan Vanny yang menatap kesal kearah Boby. Cowok itu sering sekali mengerjai mereka berdua dan itu sangat mengesalkan.
Lalu Pak Sukirmanto pun segera berdiri dan berkata, “Ayo, sekarang kita pilih ketua kelas dan atur denah tempat duduk.”
“Yailah, harus pindah tempat duduk lagi cape deh~,” kata Selly yang kelihatan sangat jengkel.
Setelah diadakan musyawarah kelas untuk menentukan pengurus kelas, hasilnya sangat mengejutkan karena ternyata Kevin terpilih menjadi ketua kelas dan Willy sebagai wakilnya. Oleh Pak Sukirmanto,mereka ditugaskan untuk menentukan tempat duduk. Mungkin dengan mereka berdua jadi pengurus kelas, Pak Sukirmanto berharap kedua muridnya bias lebih tenang dan bertanggung jawab. Michelle dan Vanny segera memohon kepada mereka supaya tidak dipindahkan.
“Hei Vin, aku akan atur tempat dudukku di sebelah Elie. Jangan cerewet ya.” bisik Willy dengan matanya yang berbinar-binar dan mengacungkan jempolnya.
”Oke deh. Tenang aja…”
Setelah itu mengatur denah, mereka segera berpindah tempat dan dapat dilihat reaksi kesal Boby yang melihat kesengajaan yang diatur Willy agar Boby tidak duduk sebangku dengan Elie lagi. Willy melirik kearah Elie dan menelan ludah. Grogi juga nih.
“H-hai, na-namaku Willy. Salam kenal,” kata Willy dengan terbata-bata yang hanya dibalas dengan tawa kecil Elie yang membuat Willy terpana.
“Kok terbata-bata gitu? Hahaha. Aku sudah kenal sama kamu dari Michelle. Soalnya kamu suka gangguin dia kan?”
“Hehehe, iya. Soalnya Michelle orangnya gampang marah jadi enak digangguin,” balas Willy yang hanya terkekeh dan obrolan mereka pun berlanjut.
Willy merasa sangat senang dengan dirinya yang selalu duduk dengan Elie. Dalam pengaturan tempat duduk beberapa kali, Willy dan Kevin selalu curang dalam mengaturnya sehingga Willy selalu duduk dengan Elie, Vanny dengan Michelle, dan Selly dengan Karen. Di lain pihak, Kevin selalu duduk dekat dengan murid-murid yang pintar untuk dimintai bantuan saat ulangan.
Tak terasa sudah beberapa bulan lewat dan sudah mendekati bulan Desember dimana mereka harus menghadapi ulangan semester. Willy lama kelamaan menjadi rajin juga karena tertular sikap rajinnya Elie yang selalu menjadi teman sebangkunya sejak awal semester. Walaupun sudah duduk sebangku, Willy merasa sangat susah untuk mendekati Elie dalam masalah lain karena ia sangat cuek dan tidak begitu banyak omong dengan orang bukan sahabat dekatnya. Sepulang sekolah, Willy memutuskan untuk meminta bantuan dan segera berbicara dengan sahabatnya mengenai masalah ini.
“Vin, menurut kamu gimana ya cara deketin cewek yang orangnya cuek bebek kayak dessy bebek?” tanya Willy yang kelihatan sangat bingung.
“Hmm, menurutku, kamu mesti deketin cewek cuek lewat perantara orang yang dekat dengannya. Itu cara paling baik,” jawab Kevin sambil menepuk pundak Willy.
Malamnya, mengikuti nasehat Kevin, dia mengirimkan sms kepada Michelle mengenai kesukaannya pada Elie dan tidak disangka ditanggapi positif oleh Michelle sesuai dengan isi smsnya.
” Serius kamu? Wah pantes tuh maunya duduk berdua dia terus. Gak nyangka banget aku. Hmm, gimana ya dia orangnya emang cuek bebek banget. Tapi tenang aja aku bakal Bantu kamu deketin dia.”
Setelah membaca sms itu, semangat Willy langsung melejat naik dan sengan gembira ia pun memberitahukannya kepada semua sahabatnya. Keesokan paginya, saat tiba di kelas tanpa sengaja ia mendengar sesuatu yang tidak ingin didengarnya. Boby akan menembak Elie. Dia langsung cepat-cepat menaruh tasnya dan pergi menemui Michelle.
“Mis, gawat nih! Tolongin pengaruhin si Elie supaya gak mau sama si Boby, soalnya nanti Boby mau nembak Elie.”
“Eh??! yakin kamu? Gak bercanda kan?”
“Suer disamber ama Pak Kinclong.”
“Hmm, akan aku bantu dengan seikhlasnya. Aku juga gak seneng sama dia. Kalau jadian sama Elie terpaksa deh tiap kali jalan harus jalan ama dia. Aku gak mau! Amit-amit!”
Segera setelah percakapan singkat itu, Michelle menjalankan tugasnya untuk mencegah pernyataan cinta Boby dengan mengikuti Elie kemanapun gadis itu melangkah. Elie Cuma bias mengangkat alis melihat tingkah temannya itu.
“Tumben kamu ngikutin aku terus, Mis.”
“Well, daripada aku bengong di kelas gak ada teman. Vanny kan lagi sibuk dengan Friska cari bahan tugas fisika di perpustakaan.”
Sampai pulang sekolah, semuanya masih terkendali. Boby tidak diberikan kesempatan untuk mendekati Elie. Tetapi ternyata hari itu Jum’at yang berarti hari dimana Willy dan Michelle harus melakukan tugasnya mengurus misa mingguan sehingga terbukalah saat yang ditunggu-tunggu oleh Boby, saat dimana Elie ditinggal sendiri oleh Michelle. Boby menggunakan kesempatan ini dan mengajak Elie ke kantin belakang sekolah.


Elie berlari tergesa-gesa menuju ke kapel samping sekolah tempat Willy dan Michelle sedang sibuk mengurusi misa. Dia harus segera memberitahukan berita mengejutkan dan menyenangkan satu ini. Setelah menemukan temannya, Elie mengajak Michelle menyepi dulu dan membisikkan sesuatu. Willy hanya melihat keduanya dari jauh dambil berdoa dalam hati agar bukan berita itu yang disampaikan.
“Mis, gila barusan si Boby nembak aku,” ungkap Elie setengah berbisik dengan cepat diantara sela tarikan nafasnya sambil tersenyum lebar. Mata Michelle terbelalak kaget dan rasanya bola matanya bias keluar kapan saja.
“Apa??!! GILA! Baru ditinggal sebentar juga!—“ teriak Michelle kesal, panic dan kaget bercampur jadi satu. Michelle menenangkan nafasnya lalu bertanya lagi. “T-terus kamu terima ya?? Makanya kamu senyum-senyum gitu?” tanya Michelle penuh selidik. Elie menggelengkan kepalanya.
“Jelas tidak. Aku tersenyum-senyum kayak gini karena aku merasa senang banget berhasil menolak si Boby. Kau mesti lihat ekspresi mukanya. Aku akan kasihtahu Vanny nanti. Hehehe,” jawab Elie dengan tenang. Michelle menghela nafas lega.
“Untung kamu tidak menerimanya Lie. Kalau kamu sampai jadian dengan Boby. Aku dan Vanny bakal menjaga jarak 10 meter tiap melihatmu jalan dengan dia,” kata Michelle tersenyum lega dan senang.
“Hahaha. Bisa saja kamu,” ucap Elie terkekeh. Willy mengecek arlojinya dan berdeham.
“Maaf, tapi cepat masuk ke kapel. Misa sudah mau dimulai,” ujar Willy memotong pembicaraan mereka berdua. Elie mengangguk dan melambai kepada Michelle dan Willy, kemudian masuk kedalam kapel.
Setelah melihat temannya masuk. Michelle langsung menghampiri Willy dan menceritakan semua yang dikatakan Elie. Willy tentu sangat senang. Satu rival sudah disingkirkan dan itu berarti dia masih punya kesempatan untuk mendapatkan Elie. Willy kemudian dengan segera bergegas bergabung dengan ketiga sahabatnya yang sudah duduk di dalam kapel. Dia tidak sabar untuk menceritakan kabar ini.
Setelah misa dimulai Willy segera menceritakan apa yang terjadi dengan kedua sahabatnya tersebut.
“Wah, beruntung banget, Will. Coba diterima, pasti kau sudah pusing 7 keliling,” kata Kevin berdecak kagum dan menepuk bahu temannya itu.
“Bener tuh. Terus, kenapa?”, tanya Selly.
“Apanya kenapa?”, jawab Willy dengan heran.
“Ya kenapa si Boby bisa ditolak, gitu aja kok gak nyambung,” kata Karen langsung nyambung ke pembicaraan mereka sambil menggelengkan kepalanya.
“O iya, lupa aku nanya. Nanti malem aku suruh Michelle nanya ama dia lewat sms,” jawab Willy dengan mengangguk-anggukan dan kemudian dengan gembira memperhatikan Elie dan teman-temannya yang juga sedang asyik mengobrol di tempat duduk mereka.
Setelah misa selesai, Willy langsung memanggil Michelle untuk menyuruhnya menanyakan apa sebab Elie menolak Boby di kantin waktu itu. Michelle pun juga penasaran dan belum mengetahui alasannya. Dia bakal menginterogasi Elie nanti malam dan berjanji akan memberitahukan alasannya nanti malam.
Sekitar pukul 8 malam HP Willy berdering. Telepon dari Michelle.
“Halo, Will ternyata alasan dia menolak Boby itu sangat sederhana. Hahaha,” kata Michelle tertawa di seberang telepon.
“Sudah, langsung saja. Jadi kenapa dia nolak si Boby?”, tanya Willy yang kelihatannya tidak sabar menunggu jawaban dari Michelle.
“Iya-iya, sabar dong kalau jadi orang.”
“Iya aku sabar, tapi mana alasannya.”
“Katanya dia nggak suka sama cowok playboy kayak Boby yang suka mempermainkan cewek yang dengan mudahnya meninggalkan cewek yang ia pacarin kalau sudah bosan. Selain itu, dia juga gak ada perasaan apa-apa ke Boby.”
“Loh, jadi kenapa dia selama ini kayaknya dekat banget sama Boby?”
“Ya, dia kan orangnya ramah walaupun cuek bebek. Tahu sendiri kan?”
“Ya. Hah, lega aku mendengarnya.”
“Ya udah ah. Aku gak ada pulsa, bye.”
“Dasar pelit dari dulu kalau ditelpon atau disms pasti alasan habis pulsa. Hahaha. Bye,” jawab Willy yang lalu mematikan handphonenya.
Waktu memang berjalan sangat cepat dan tanpa disadari sudah lewat 1 semester setelah kejadian itu dan ini saatnya bagi mereka untuk menghadapi UAN. Pada saat ini Willy sedang berada di kelas dan masih terus duduk di sebelah Elie. Dia berusaha untuk menarik perhatian Elie dengan segala cara, seperti curhat dengannya atau dengan menanyakan tugas dengannya. Dengan ini dia bisa meyakinkan Elie bahwa dia adalah laki-laki yang setia bukan seorang playboy. Tetapi Elie selalu saja menjawab yang dibutuhkan saja, jarang sekali mengajak mengobrol lama-lama. Ini membuat Willy sangat susah untuk mendapatkan perhatiannya.
Pada hari terakhir UAN, Willy sedang makan bersama sahabat-sahabatnya di kantin mendiskusikan saat yang tepat untuk mengutarakan perasaannya kepada cewek pujaan hatinya itu.
“Jadi, Aku akan nembak Elie saat pembagian ijasah, gimana menurut kalian?” tanya Willy serius menatap satu persatu temannya.
“Ya terserah dan juga tergantung. Kamu sudah pasti belum mau sama dia?” ujar Kevin balik nanya kepada Willy.
“Tentu saja lah,” balas Willy dengan tegas.
“Ya udah. Kalau gitu silahkan lakukan rencanamu, tapi jangan di skul. Menurutku agak sulit. Lebih baik ajak dia makan atau nonton film gitu sehabis pembagian ijazah. Kesannya lebih serius gitu, “ ujar Karen memberikan saran ke willy sambil terkekeh.
“Wuih, bisa juga nih Karen omongin soal cinta hahahahaha.”, kata Selly sambil tertawa terbahak-bahak.
“Baiklah. Itu memang lebih baik. Tapi aku akan ajak kalian, Michelle dan Vanny juga. Aku tidak yakin dia akan mau jalan berdua saja kalau kami belum ada hubungan apa-apa. Makasih idenya kawan,” kata Willy tersenyum dan menghabiskan makanannya.
Tak lama kemudian mereka telah mendapat ijasah dan seluruh murid angkatan Willy lulus dengan nilai yang memuaskan. Sepulang sekolah, Willy langsung menjalankan rencanya dan pergi menemui Elie dan kawan-kawannya yang sedang merayakan kelulusan mereka.
“Hei, gimana hasilnya? Bagus?” tanya Willy kepada ketiga orang itu.
“Bagus kok. Hehehe,” jawab Elie dengan penuh tawa. Michelle dan Vanny juga mengangguk-angguk, tanda bahwa jawaban mereka sama dengan Elie.
“Oh iya, kita rayain yuk,” usul Vanny tersenyum yang ditanggapi oleh anggukan antusias Michelle. Elie juga mengangguk tanda setuju.
“Ah, kalau begitu gimana kalau kita nonton aja ke Mall of Palembang yang baru buka? Aku sudah pernah pergi dan tempatnya bagus. Sekalian nanti aku ajak Selly, Kevin, dan Karen biar rame. Mau?” tanya Willy santai berusaha menutupi rasa gugupnya.
“Boleh dong, enak juga tuh sekalian untuk refresing. Iya kan, Lie?” kata Michelle yang masih nyengir karena mendapatkan nilai bagus di mata pelajaran favoritnya.
“He-eh,” jawab Elie tersenyum
“Ok deh, nanti siapa yang mau aku jemput?” tanya Willy yang berharap hanya Elie yang mengangkat tangan.
“Aku akan pergi ikut Vanny, boleh kan Van?” jawab Michelle tersenyum jahil sambil merangkul lengan Vanny. Michelle sudah tahu rencana Willy dan ia jahat kan kalau nanti menganggu?
“Boleh aja…” jawab Vanny tersenyum.
“Eh, tunggu! Aku gimana? Mobil Vanny itu mobil kecil yang cuman muat untuk 5 orang, biasanya didalam ada banyak barang. Jadi palingan hanya muat untuk 3 orang,” kata Elie yang kelihatan kebingungan.
“Ikut aku aja gimana? Mobilku kan Harrier ga kecil-kecil amat,” tanya Willy dengan penuh harap. Elie tampak berpikir keras.
“Sudah, Lie. Ikut saja. Daripada lu jalan?” ujar Michelle membujuk Elie masih senyam-senyum gak jelas.
“ Ya udah deh,” jawab Elie.
“Nanti aku antar pulang juga yah?”tanya Willy
“Boleh jadi kokoku gak usah pergi keluar rumah lagi. Biasa dia suka rewel kalau diganggu pas lagi seru-serunya main internet,” jawab Elie dengan senang hati.
“Baiklah. Nanti jam 2 aku jemput ya.” kata Willy penuh semangat. Ia sudah tidak sabar untuk acara jalan-jalan ini.
“Oke,” jawab ketiganya.
Willy kemudian meninggalan ketiga cewek itu dan segera kembali menemui ketiga sahabatnya untuk memberitahukan hal ini.
“Aku udah berhasil ngajak dia pergi, gimana kalian jadi ikut kan?”, tanya Willy.
“Tentu saja . Kita kan mau refreshing juga.” jawab Selly
“Ntar aku ikut siapa?” tanya Karen
“Iya aku juga ikut siapa, supirku kan lagi cuti mana mobil masuk bengkel lagi,” kata Selly.
“Aku bisa jemput Karen tapi ntar baliknya jangan ikut aku yah aku mau nembak dia di mobil.” jawab Willy.
“Oke, aku bakal jemput Selly. Pulangnya Karen ama Selly ikut aku,” kata Kevin.
“Ok, makasih ya. Aku balik rumah dulu mau siap-siap.” Ujar Willy sambil berjalan meninggalkan tiga sahabatnya itu.
“Mentang-mentang mau nembak cewek, langsung lari ke rumah dandan sampe 3 jam hahahahahaha.” kata Selly sambil tertawa jahil.
“Bercanda aja kamu Sel. Ya sudah, aku balik dulu. See ya!” jawab Willy dan pulang ke rumahnya. Karen mengikuti dari belakang agak tergesa-gesa.
“Tunggu! Aku juga ikut turunin di simpang depan skul,” ujar Karen mengejar Willy yang Cuma dibalas dengan acungan jempol oleh Willy.


“Halo, Lie udah siap lom?" tanya Willy lewat teleponnya dan dapat dilihat kalau ia sudah tidak sabar lagi menunggu untuk pergi. Dia sudah terkekang selama satu bulan karen ujian akhir itu dan juga dia ingin cepat-cepat menemui Elie.
“Sudah. Cepetan. Michelle sama Vanny sudah nyampe.”
“Iya, tunggu ya. Bye.”
“Bye.”
Setelah mematikan handphonenya Willy langsung keluar dan menghidupkan mobil kesayangannya itu. Mobil itu merupakan pemberian ayahnya kepadanya saat berumur 17 tahun katanya menandakan kalau Willy itu sudah dewasa.Setelah pamitan dengan ibunya dia langsung pergi menuju rumah Elie dan menjemputnya lalu langsung pergi nonton ke Mall of Palembang.
Setelah mereka jalan-jalan sampai puas, hari sudah cukup malam dan mereka segera bergegas pulang ke rumah masing-masing. Sahabat-sahabat Willy memberi semangat pada Willy sebelum mereka pulang dan Willy menjadi sangat gugup di dalam mobil. Willy yang biasanya cerewet menjadi diam membuat Elie curiga.
Setelah sampai di depan rumah Elie. Elie pun segera pamitan pada Willy dan membuka pintu tetapi Willy segera memanggil Elie dan dia menutup pintunya lagi. Willy berdeham beberapa kali kemudian mengutarakan perasaannya.
“Lie, mungkin selama ini kamu gak sadar kalau aku selama ini selalu memperhatikanmu. Tapi. sebenarnya aku suka sama kamu. Asal kamu tahu, waktu Boby nembak kamu aku langsung keringetan bukan main—“ dengan segera digenggamnya tangan Elie yang kelihatannya sangat terkejut.”Mungkin bagi kamu aku gak sempurna seperti yang kamu inginkan, tapi di mataku kamu itu sangat sempurna dan tiada duanya. Will you be my lady?”
“G-gimana ya aku jadi bingung—“ Elie tidak menatap mata Willy namun saat sesaat melihat mata cowok dihadapannya ia dapat melihat ketulusan Willy. Elie tersenyum kecil dan menjawab dengan simpel sesuai dengan perwatakannya.”Oke deh.”
Jawaban yang hanya terdiri dari dua kata pendek itu dengan sukses membuat Willy meloncat kegirangan sampai-sampai kepalanya terbentur atap mobil yang rupanya cukup keras. Elie hanya tertawa kecil dan segera setelah mengantar Elie, Willy memberitahukan hal ini kepada teman-temannya termasuk Michelle dan mereka memberikan Willy selamat. Willy berjanji akan mentraktir mereka.
Bulan demi bulan berlalu, hubungan antara Willy dan Elie pun menjadi semakin erat, semua sahabat mereka pun tidak ada masalah. Beberapa dari sahabat Willy dan Elie sudah pindah untuk kuliah di tempat lain seperti misalnya Michelle yang pindah ke Jakarta dan masuk Universitas Indonesia dan mengambil jurusan kedokteran dan Kevin yang pindah ke Bandung untuk melanjutkan kuliah bidang Teknologi Informasi. Vanny dan Selly memutuskan untuk tetap tinggal di Palembang untuk melanjutkan studinya. Selly tidak mau berpisah dari pacarnya yang sudah bekerja tetap disini. Sementara Willy, Elie, dan Karen memutuskan untuk pindah ke Singapura untuk melanjutkan studi disana. Saat ini Willy dan Elie sedang pergi makan di Mall of Palembang sambil mendiskusikan jurusan yang akan mereka ambil nanti di Singapura
“Aku sudah putuskan, aku akan masuk sekolah musik di Singapura bagian barat. Sekolahnya bagus kan, Will?”
“Iya sih. Kalau aku kuliah jurusan apa yah? “
“Kamunya suka apa?”
“Kalau aku sih sukanya ama Zoologi sama Kimia, tapi gak tau mau milih yang mana bingung.”
“Kayak aku dong. Dari dulu emang udah seneng main piano jadi sudah pasti kuliah ambil piano.”
“Hmmmm, tapi Lie, menurut kamu aku ambil apa?”
“Menurutku ambil Zoologi saja. Tempat kuliahnya kan deket sama college aku nantinya.”
“Iya juga. Dekat pula sama kampus Karen. Dia kan ambil jurusan matematika. Emang dari dulu udah jadi maniak matematika.”
“Hahaha, iya ya, jadi collegenya deketan dong.”
Saat itu Karen pun datang bersama Selly dan Vanny sehabis pergi berbelanja di mall.
“Wuih lagi ngomongin apa nih?” tanya Selly dengan ceria.
“Lagi nentuin tempat kuliah,” jawab Elie.
“Udah ketemu belum?” tanya Vanny.
“Udah, kampusnya deketan lagi ama kampusnya Karen. Jadi kan kalau pulang bisa sama-sama.”, jawab Willy.
“O, iya deketan. Jadi kapan kita akan berangkat?”, tanya Karen.
“Masih belum tahu. Aku lagi sibuk rundingin dengan Mamaku, boleh gak aku tinggal di tempat Willy sekalian,” ujar Elie yang masih kebingungan membujuk orangtuanya. Padahal keluarganya sudah cukup kenal dengan keluarga Willy. Seharusnya tidak ada masalah kan?
“Kalau bisa secepatnya ya, aku suda gak sabar mau lanjutin kuliah,” jawab Karen dengan penuh antusias.
“Berarti kau mau cepat-cepat ninggalin aku dong?” kata Selly dengan wajah memelas.
“Ya enggak lah kan tiap liburan aku pasti balik. Lagian kita kan bisa ol msn rame-rame, kayak waktu itu sama Kevin.”
“Iya yah, hahaha.”
“Sudah lah kalau gitu kita balik dulu ya.”, kata Elie.
“Ok, bye.”
Setelah sampai di rumah Elie, mereka langsung berdiskusi langsung dengan orang tua Elie yang kelihatannya sangat sibuk tetapi mau meluangkan waktunya untuk berbicara. Akhirnya, orang tua Elie setuju dan begitu pula untuk orang tua Willy, mereka langsung mengabarkan Karen mengenai hal ini dan ia memberitahukan kepada orang tauanya bahwa dia akan menginap di rumah Willy di Singapura, tentu saja orang tua Karen langsung setuju karena mereka sudah kenal lama dengan keluarga Willy.
Beberapa minggu kemudian mereka pun terbang langsung ke Singapura dan mendatangi kampus masing-masing, dan ternyata mereka semua diterima. Tak terasa sudah 4 tahun terlewatkan setelah mereka pindah ke Singapura. Sampai saat itu hubungan Elie dan Willy masih berjalan dengan baik. Saat ini mereka sedang makan di sebuah food court bersama Karen.
“Enggak terasa lagi ya, Will, sudah 4 tahun gak ketemu ama teman-teman.”, kata Elie yang saat itu sedang menyantap makanannya. Selama 4 tahun terakhir ini, mereka tidak sempat pulang ke Indonesia karena terlalu sibuk dengan kuliah dan juga tugas dari dosen. Sehingga, liburan selanjutnya saat mereka akhirnya bebas tugas, sudah sangat mereka tunggu.
“Iya sudah gak sabar mau pulang, kan sekarang kita tinggal nyelesain skripsi habis itu bulan depan uda bisa balik lagi ke Palembang,” jawab Willy.
“Makannya kalau kuliah itu yang rajin, kayak aku dong 3 tahun aja uda tamat. Malahan ditawarin lanjutin ampe S3 segala. Tapi sayang kalian bakal pulang dan itu berarti gak ada tempat tinggal. Padahal aku mau tapi terpaksa kutolak tawaran itu,” kata Karen dengan rasa sedikit menyesal.
“Ya iyalah, kamu kan maniak banget belajar. Hahaha,” kata Elie.
Akhirnya setelah penantian cukup panjang, akhirnya mereka telah dinyatakan lulus dari kampus masing-masing dan telah bersiap-siap untuk pulang ke Palembang.
Setibanya di Palembang, Willy langsung mengangkati koper mereka keatas troli dan segera membawanya kedepan, alangkah terkejutnya dia ketika ia merasakan ada tangan yang memegangi bahuny, karena Elie dan Karen sudah menunggu di depan bandara. Saat menoleh kebelakang dia melihat Kevin, dia sangat sengang meihat sahabatnya lagi itu.
“Tambah tinggi kau, Will bahkan melebihi aku ya. Hahaha, padahal dulu aku lebih tinggi darimu.”
“Bisa saja kau, Vin, becanda terus, darimana kau tahu hari ini kami akan pulang? Padahal kami ingin mengejutkan kalian dengan menyantroni rumah kalian satu-persatu.”
“Mau tahu aja. Kan aku punya banyak koneksi, hahaha.”
Setelah itu mereka pun berjalan keluar bandara yang ternyata didepan sudah menunggu semua sahabat mereka. Ada yang mukanya sangat berubah seperti Michelle dan ada yang masih tetap sama seperti Selly.
“Hei, masih akrab gak nih pasangan kita?” sapa Michelle tersenyum jahil sambil menepuk pundak Elie yang hanya tersenyum. Willy mengacungkan jempolnya dan tersenyum lebar.
“Tentu dong. Hahaha. Ayo, kita pulang,” jawab Willy sambil berjalan menuju mobil yang menjemput mereka.

TAMAT

Bersama

Karya : Kevin Harmen

Pagi ini matahari sangat cerah. Matahari begitu hangat menyinari bumi. Kosuke sedang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, ia adalah anak berumur 15 tahun yang selalu telihat santai kapan saja dan di mana saja. Dia selalu menanggapi sesuatu dengan santai.
“Hei Kosuke,” teriak seorang perempuan dengan penuh semangat dari sebuah halaman rumah di belakang Kosuke.
Teriakan itu diteriakkan oleh Mori, seorang teman sekelas Kosuke yang selalu menemaninya setiap saat dan membantunya dalam berbagai masalah Kosuke.
“Ada apa Mori?” balas Kosuke dengan santainya, “Ayo kita pergi ke sekolah bersama-sama lagi…”
“Ayo Kosuke!” balas Mori dengan penuh semangat,” jangan sampai terlambat lagi ya seperti kemarin! Kamu sih lama sekali kemarin.”
“Sudahlah, yang penting hari ini kan aku sudah berangkat pagi-pagi, jadi jangan cemas. Kita tidak akan telat lagi hari ini.” balas Kosuke sambil berjalan ke arah sekolah.
Merekapun berjalan bersama-sama menuju sekolah dan tiba di sekolah tanpa terlambat seperti biasanya. Setibanya di kelas, merekapun diolok-oloki oleh teman-temannya, terutama oleh Robert.
“Hei, teman-teman lihat! Sepasang kekasih ini tidak terlambat sekolah hari ini! Hahaha,” kata Robert, seorang murid di kelas Kosuke yang selalu mengolok-oloki mereka.
“Sepasang apa katamu! Kami ini cuma teman! Dasar sok tahu,” balas Mori dengan wajahnya yang memerah.
“Memang benarkan? Buktinya saja kalian selalu pergi berdua seperti sepasang kekasih,” ujar Robert dengan tawanya, “Lihat teman-teman, wajah Mori memerah seperti buah apel merah yang sudah matang!”
“Sudahlah Mori, biarkan saja mereka,” ucap Kosuke dengan santai, “Santai sajalah Mori, jangan dianggap serius lah.”
“Bagaimana sih kamu ini, tidak pernah menganggap sesuatu dengan serius,” balas Mori kepada Kosuke, “Awas ya kalian, nanti pasti akan kubalas!”
“Hei, hei, kalian ini bagaimana sih? Kok sepasang kekasih bertengkar?” sindir Robert dengan cengirannya.
“Ah, sudahlah, malas aku berbicara dengan kalian! Aku sudah capek!” balas Mori dengan kesal, “Ayo kita ke tempat duduk kita, Kosuke.”
Mori yang mengajak Kosuke untuk duduk di tempat duduk merekapun segera menuju ke tempat duduk mereka. Tak lama kemudian bel sekolahpun berbunyi yang menandakan bahwa jam pelajaran akan segera dimulai.
Jam pelajaran pagi itu dimulai dengan pelajaran matematika, pelajaran yang membosankan bagi Kosuke dan selalu membuat Kosuke tidur pada saat jam pelajaran tersebut. Kosukepun tertidur di kelas pada jam pelajaran tersebut.
“Jadi bila 5x ditambah a menjadi…” ucap Pak Margaret yang mengajar matematika di kelas Kosuke, “Bagaimana Kosuke?Mengerti nak?”
“Hei Kosuke, Pak Margaret memanggil kamu nih, bangun, bangun.” bisik Mori kepada Kosuke, “Hei, bangun Kosuke, nanti kamu diusir lagi dari kelas oleh pak Margaret.”
“Hah? Ada apa?” ucap Kosuke dengan setengah sadar, “Ada apa mori?Aku kan masih mau tidur nih.”
“Kosuke! Lagi-lagi kamu ini tertidur di kelas! Dasar anak pemalas.” ucap Pak Margaret sambil berjalan ke arah tempat duduk Kosuke, “Keluar sana dari kelas! Kamu baru boleh masuk bila jam pelajaran saya sudah selesai.”
“Kamu dimarahi Pak Margaret kan, kamu sih gak mau mendengar omonganku” ucap mori dengan suara yang rendah.
“Ya, ya, ya, saya keluar…” ucap Kosuke yang masih mengantuk, “Boleh ke kantin nggak Pak?”
“Kamu ini ya, sudah bosan sekolah apa?” balas Pak Margaret dengan kesalnya, “Duduk saja di teras kelas sana!”
“Bagaimana sih Pak ini, nggak pernah bercanda apa?” kata Kosuke dengan santainya, “Hei Mori, mau ikut denganku keluar nggak?”
“Umm… Aku... Aku…” Mori tak dapat menjawabnya karena ia masih kebingungan.Mori sangat kebingungan apakah dia harus menemani Kosuke di luar atau tetap berada di dalam kelas.
“Aku kan tidak tertidur di kelas sepertimu, jadi aku akan tetap di kelas…” balas Mori dengan ragu-ragu.
“Eh, eh, kok gitu sih? Masa pacarnya sendiri tidak menemani? Hahaha.” sindir Robert dengan cekatan. Murid-murid sekelaspun ikut tertawa dengan Robert.
“Apa-apaan sih kamu ini, sudah berkali-kali aku bilang kalau kami itu hanya teman!” teriak Mori sambil bersiri melihat Robert.
“Hei Mori, kamu keluar juga dari kelas dengan Kosuke!” ucap Pak Margaret, “Dilarang berteriak di dalam kelas tahu.”
“Wah-wah, akhirnya sepasang kekasih ini bersatu juga ya teman-teman,” ucap Robert dengan cengirannya.
“Sudah! Cukup Robert, mari kita lanjutkan pelajaran matematika ini,” balas Pak Margaret kepada Robert, “Untuk Kosuke dan Mori, kalian berdua silakan duduk di teras kelas hingga jam pelajaran saya selesai.”
Kosuke dan Moripun menuju keluar dan duduk berdua di teras kelas. Jantung Mori berdetak sangat cepat karena ia hanya duduk berdua dengan Kosuke. Mori tak dapat berkata apa-apa, ia hanya dapat duduk terdiam dan wajahnyapun memerah karena yang ada hanya Kosuke di sampingnya.
“Ada apa Mori? Kenapa wajahmu memerah?” tanya Kosuke, “Apakah kamu sakit? Ayo kita ke UKS.”
“Umm, tidak tidak, aku tak apa-apa kok,” balas Mori dengan ragu, “Aku cuma… Cuma cemas saja nanti aku tidak bisa mengerjakan soal-soal matematika yang diajarkan oleh pak Margaret, Cuma itu kok…”
“Oh, ya sudah, tenang saja, nanti aku ajarin kamu lah, aku bisa kok soal-soal Pak Margaret,” kata Kosuke dengan menatap mata Mori, “Soal-soalnya kan mudah-mudah jadi aku bisa mengerjakannya dengan mudah.”
“Baiklah kalau begitu, nanti jangan lupa ajarin aku ya…” balas Mori dengan gugup, ”Jadi annti sepulang sekolah aku ke rumah kamu ya.”
Mereka berduapun duduk di depan kelas hingga jam pelajaran Pak Margaret selesai. Jam pelajaran itu ditutup dengan jam istirahat. Tak lama kemudian Robert keluar dari kelas dan menyindir mereka berdua.
“Hei, bagaimana kencannya? Apakah menyenangkan?” ucap Robert, “Enak kan kalau cuma berdua saja? Tak ada yang menganggu kencan kalian kan?”
“Enak saja kamu bilang! Kamikan tadi dihukum, jadi kami cuma duduk saja di sini, tidak lebih kok!” balas Mori.
“Hei, hei, sudahlah Mori, biarkan saja si Robert itu, kalau kamu ladeni nanti dia malah menjadi-jadi,” ucap Kosuke dengan tenang, “Ayo kita ke kantin saja, perutku sudah lapar nih.”
“Baiklah Kosuke, ayo kita tinggalkan Robert si mulut besar ini,” balas Mori sambil berjalan ke arah kantin dengan Kosuke.
“Pergi sana! Pergi kencan sampai kalian puas sana.” ucap Robert dengan kesal, “Kalian akan menyesali kata-kata kalian!”
Kosuke dan Moripun berjalan ke arah kantin. Kosuke hendak mentraktir Mori makan, untuk menghibur Mori yang telah dikeluarkan dari kleas bersamanya tadi.
“Hei Mori, ambil saja makanan yang kamu suka, nanti aku yang bayarin deh.” ucap Kosuke sambil meraba-raba kantongnya, “Kita makan makanan yang murah-murah saja ya.”
“Oh, ok, baiklah Kosuke…” balas Mori dengan bingung, “Apa tak apa-apa kalau kau yang bayar?”
“Tak apa-apa tenang saja, aku tak akan memungut biaya darimu kok, hahaha,” balas Kosuke sambil tersenyum, “Ayo, ambil makanannya, nanti habis.”
Mereka berduapun makan dengan tenang dan hanya berdua saja di satu meja. Robert sedang tak ada di sana, jadi tak ada orang yang menyindir mereka. Mereka makan dengan lahap sampai kenyang, mereka pun puas dengan santapan mereka.
“Ayo Kosuke kita kembali ke kelas, nanti kita akan terlambat, jam pelajaran selanjutnya akan segera dimulai nih,” kata Mori setelah ia selesai makan, “Ayolah Kosuke, jam istirahat akan segera selesai nih, jam pelajaran setelah ini kan jam pelajaran…, kok aku mendadak lupa ya?”
“Setelah ini kan jam pelajaran Pak Kobasen, dia kan baik dengan murid-murid,” balas Kosuke dengan tenang, “Dia tak akan memarahi kita kok kalau kita hanya terlambat sedikit, dia kan guru yang baik.”
“Oh iya ya, tapi kan kamu ini jangan begitu lah, bagaimanapun juga kan dia seorang guru,” ucap Mori sambil berdiri, “Walaupun dia tak akan memarahi kita, kita kan sudah seharusnya menghormati dia sebagai seorang guru, bagaimana sih kamu nih.”
“Iya iya, aku akan segera menuju ke kelas,” balas Kosuke sambil memegang gelas air minumnya, “Kamu silakan ke kelas dulu sana, nanti aku akan menyusul.”
“Ah, tidak ada susul-menyusul, kamu harus segera menuju kelas denganku,” ucap Mori sambil menarik tangan Kosuke, “Ayolah, cepat sedikit kamu nih, lama banget sih.”
Tet… tet… tet…, bel tanda jam istirahat telah selesai berbunyi, murid-muridpun segera bergegas menuju kelas mereka masing-masing. Sementara itu Kosuke dan Mori masih di kantin dan akan segera berjalan bersama-sama menuju kelas mereka.
Mori dan Kosuke berjalan bersama-sama menuju kelas dan di depan kelas telah terlihat Robert yang telah siap dengan sindirannya. Pak Kobasen masih belum terlihat sehingga masih banyak murid-murid yang berada di teras kelas.
“Bagaimana makanannya sayang? Enakkan? Apalagi ditraktir oleh pacar sendiri,” sindir Robert sambil berdiri di depan pintu kelas mereka
“Siapa sih kamu? Pake sayang-sayang lagi,” ucap Mori dengan kesal, “Kami kan Cuma makan bersama-sama, Kosuke hanya mentraktirku kok.”
“Hei, hei sudahlah Mori, jangan ladeni Robert,” ucap Kosuke sambil menarik Mori ke dalam kelas, “Biarkan saja dia bicara sendiri, nanti dia diam sendiri kok.”
“Ahh, pergi saja sana!” ucap Robert dengan kesal, “Pergi saja pacaran lagi.”
“Umm…, Kosuke, terima kasih ya.” Ucap Mori sambil berjalan mendekati tempat duduknya dengan Kosuke.
“Iya, tak apa-apa, orang seperti dia itu tak seharusnya diladeni,” ucap Kosuke di tempat duduknya, “Nanti dia akan jera sendiri kok menyindirmu.”
Mereka berduapun tiba di kelas tanpa terlambat, tak lama kemudian Pak Kobasen datang dan mengajar mereka. Kosuke dapat menjalani pelajaran-pelajaran dari Pak Kobasen dengan baik, pelajaran yang diajarkan oleh Pak Kobasenpun tidak membuat Kosuke mengantuk.
“Eh Kosuke, pelajaran yang diajarkan Pak Kobasen itu menyenangkan ya, cara mengajarnyapun tidak membuat kita bosan,” ucap Mori dengan terkagum-kagum pada Pak Kobasen.
“Iya, Pak Kobasen ini kan guru favorit kita, dia mengajar dengan santai sehingga kita dapat mengerti pelajarannya dengan mudah,” balas Kosuke sambil memperhatikan pelajaran yang diajarkan oleh pak Kobasen.
“Iya, coba yang mengajar seluruh pelajaran itu Pak Kobasen ya, pasti semua mata pelajaran akan menjadi menyenangkan.” Ucap Mori kepada Kosuke.
“Hei Kosuke, Mori, apa yang kalian bicarakan di sana?” tanya Pak Kobasen kepada Kosuke dan Mori yang sedang berbincang di tempat duduk mereka.
“Tidak apa-apa Pak, kami Cuma membicarakan tentang pelajaran ini kok,” balas Kosuke dengan baik dan sopan kepada Pak Kobasen.
“Oh, baiklah, apa ada yang tidak kalian mengerti dari pelajaran ini?” tanya Pak Kobasen kepada seluruh murid di kelas.
“Tidak Pak, pelajaran yang Pak ajarkan dapat kami mengerti dengan mudah dan cepat,” ucap Mori kepada Pak Kobasen sambil tersenyum.
“Iya, pelajaran yang Pak ajarkan dapat dimengerti dengan cepat, jadi Pak tidak perlu khawatir.” Ucap salah seorang murid dari kelas tersebut.
“Baiklah-baiklah, mari kita lanjutkan pelajaran ini ya, bila ada yang tidak mengerti silakan menanyakannya kepada saya ya.” Ucap Pak Kobasen dengan tersenyum.
“Iya kan, Pak Kobasen itu guru yang baik,” ucap Mori kepada Kosuke, “Dia saja tidak mau menghukum murid dengan mudah, dia pantas menjadi guru favorit.”
“Iya, iya, mari kita dengarkan penjelasan dari Pak, aku sangat nyaman diajarnya.” Ucap Kosuke kepada Mori sambil memperhatikan pak Kobasen.
Pelajaran-pelajaran yang diajarkan oleh guru-guru setelah pelajaran Pak Kobasen dapat dijalani oleh Kosuke dengan baik dan tidak tertidur di kelas lagi.
Tet… tet… tet…, bel tanda jam pelajaran sekolah hari ini telah selesai, semua muridpun bersiap-siap untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Sementara itu Mori ingin meminta Kosuke untuk menjelaskan pelajaran Pak Margaret yag ia tak mengerti tadi kepada Kosuke.
“Hei Kosuke, itu, aku mau meminta kamu mengajariku pelajaran yang diajarkan Pak Margaret tadi,” tanya Mori kepada Kosuke, “Apakah kamu bisa mengajariku hari ini sepulang sekolah di rumahmu?”
“Oh, bisa, aku punya waktu luang kok hari ini,” jawab Kosuke pada Mori, ”Nanti kamu ke rumahku sekitar jam 2 siang ya.”
“Baiklah! Aku akan segera tiba di sana sekitar pukul 2 nanti ya,” balas Mori dengan tersenyum, “Ayo kita pulang bersama-sama, jarang-jarang sekali ya Robert tidak di sini untuk menyindir kita.”
“Ya sudahlah, mungkin dia sudah kapok menyindir kita terus, ayo kita pulang.” jawab Kosuke kepada Mori.
Mereka berduapun berjalan ke rumah bersama-sama dan tidak tampak Robert yang sering menyindir mereka. Rumah Mori tidak terlalu jauh dari rumah, sehingga Kosuke harus meneruskan perjalanannya sendirian ke rumahnya.
“Hei Kosuke, aku duluan ya,” ucap Mori sambil berjalan menuju ke dalam rumahnya, “Hati-hati ya di jalan!”
“Iya, baiklah,” balas Kosuke kepada Mori, “Aku tunggu di rumahku jam 2 ya! Jangan sampai lupa!”
Mori yang telah tiba di rumahnya duluan, melanjutkan kegitan siangnya dengan makan siang dan setelah itu ia segera bersiap-siap untuk menuju ke rumah Kosuke. Sementara itu Kosuke masih dalam kegiatan siangnya, yaitu makan siang.
Waktu telah menunjukkan pukul 13.40. Moripun bergegas menuju ke rumah Kosuke agar tidak terlambat dengan janjinya. Kosuke yang telah selesai dengan makan siangnya sedang bermalas-malasan di tamannya. Tak lama kemudian Moripun tiba di rumahnya dan menemui Kosuke yang sedang bersantai-santai di bawah pohon di halaman rumah Kosuke.
“Hei Kosuke!” teriak Mori dengan tersenyum, “Jangan bilang kamu lupa dengan janjimu untuk mengajarkanku pelajaran Pak Margaret ya!”
“Ahh.., ruapnya Mori sudah tiba ya,” ucap Kosuke yang hampir tertidur di bawah pohon di halamannya, “Tenang saja, aku tidak lupa kok, kamu mau aku ajarkan di mana? Di dalam rumah atau di halaman ini?”
“Di halaman ini sajalah, sepertinya lebih menyenangkan,” balas Mori, “Udaranya sangat segar dan sangat sejuk di bawah pohon seperti ini, pasti pelajaran lebih mudah dimengerti.”
“Baiklah, mana yang kamu tidak mengerti?” tanya kosuke kepada Mori.
“yang ini, bagian dimensi tiga,” ucap Mori sambil mengeluarkan bukunya, “pelajaran ini rumit, apalagi diajarkan oleh pak Margaret, malah menjadi lebih sulit.”
“Ohh, tenang saja, dimensi tiga ini tidak susah kok,” jawab Kosuke kepada Mori, “Bila kamu melakukan sesuatu degan berpikir positif, pasti kamu akan berhasil.”
“Terima kasih ya Kosuke atas nasihatmu, mungkin dengan berpikir positif aku akan menjadi lebih baik dan dapat melakukan apa yang aku inginkan.” Jawab Mori kepada Kosuke sambil tersenyum.
“Ayo, mari kita mulai pelajaran hari in dengan Pak Kosuke!” ucap Kosuke sambil mengambil soal-soal latihan di buku yang dibawa oleh Mori.
“Baiklah Pak Kosuke!” jawab Mori dengan penuh semangat, “Aku juga akan mengikuti caramu dengan berpikir positif.”
Moripun dapat mengerti pelajaran dimensi tiga itu dengan mudah. Semua itu karena motivasi dari kosuke untuk selalu berpikir positif, sehingga Moripun berusaha untuk tidak mudah menyerah dalam melakukan kegiatannya.
Tak lama kemudian, mereka menyudahi pelajaran mereka. Mori yang hendak pulang ke rumahnyapun diajak oleh Kosuke untuk bermain-main dahulu di rumahnya.
“Hei Mori, apa kamu akan segera pulang? Apa kamu tidak ma main-main dulu ke rumahku?” tanya Kosuke kepada Mori yang sudah memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya.
“A-aku mau pulang sajalah, masih banyak hal yang harus aku lakukan,” jawab Mori kepada Kosuke dengan cepat, “Aku ingin berterima kasih atas semuanya, terima kasih ya Kosuke.”
“Ah, tidak apa-apa, sudah tugasku kok untuk menolong teman baikku ini,” jawab Kosuke kepada Mori dengan tersenyum, “Eh, jadi kamu mau langsung pulang ke rumah? Tidak perlu kutemani?”
“Aku kan bisa pulang sendiri kok, baiklah kalau begitu, aku pulang dulu ya!” ucap Mori sambil berjalan menuju pintu keluar halaman Kosuke.
“Eh Mori, aku mau menanyakan sesuatu nih,” ucap Kosuke kepada Mori, “Apa kamu ada waktu malam ini?”
“A-apa? Malam ini sih aku tidak ada acara…” jawab Mori dengan ragu.
“Baiklah kalau begitu, aku tunggu kamu di taman pukul 7 ya malam ini,” ucap Kosuke dengan mengacungkan jempolnya, “Aku ingin membicarakan sesuatu, jadi jangan sampai tidak datang ya!”
“B-baiklah Kosuke…” jawab mori dengan kebingungan, “Aku tak akan telat kok…”
Jantung Mori berdetak sangat kencang karena Kosuke sepertinya ingin mengajak Mori pergi kencan malam hari nanti. Mori masih bingung akan apa yang Kosuke rencanakan dengan ajakannya tadi. Perasaan Mori bercampur antara senang dan penasaran, ia tak sabar untuk menunggu hingga nanti malam.
Setelah sampai ke rumah, Mori segera mempersiapkan pakaian apa yang akan ia gunakan nanti malam pada perjumpaannya dengan Kosuke. Kosuke tidak mempersiapkan sesuatu yang spesial, ia hanya berharap agar Mori dapat menepati ajakannya.
Waktu telah menunjukkan pukul 06.40. MTak lama kemudian Moripun tiba di taman, namun ia belum melihat Kosuke. Kosuke yang baru saja tiba langsung memanggil Mori dan mengajaknya duduk di kursi taman.
“Hei Mori! Maaf ya aku terlambat!” ucap Kosuke dengan menggaruk kepalanya.
“Tak apa-apa kok, aku saja yang terlalu cepat datang ke sini,” balas Mori sambil berjalan menuju ke arah Kosuke.
“Eh Mori, ayo kita duduk di sana,” ajak kosuke sambbil memegang tangan Mori.
“B-baiklah,” ucap Mori dengan gugup, “Oh ya, memangnya kamu mau membicarakan apa?”
“Itu, kita kan sudah lama berteman, bersama-sama dalam keadaan apapun,” ucap Kosuke sambil menatap mata Mori, “Jadi aku mau bilang sesuatu.”
“A-apa,” ucap Mori dengan perasaan ragu namun nyaman, “J-jadi kamu mau bilang apa?”
“Sebenarnya aku mau bilang ini sejak kita telah berteman akrab dan selalu bersama dulu,” ucap Kosuke sambil memegang tangan Mori, “Kupikir waktunya tepat sekarang, aku sebenarnya menyayangimu Mori…”
“A-apa,” ucap Mori dengan terkejut, “A-apa itu benar? Kamu tidak main-main kan?”
“Tentu saja tidak, kali ini aku serius dengan kata-kataku.” Ucap Kosuke sambil tersenyum menatap Mori, “Jadi, maukah kau menjadi pacarku?”
Mori tak dapat menjawab pertanyaan Kosuke karena ia sangat gugup dan jantungnya berdetak sangat cepat. Di dalam hatinya, Mori sangat senang dan bahagia karena ternyata Kosuke, teman baiknya sejak kecil dapat mengatakan hal tersebut.
“A-aku…” jawab Mori dengan gugup dan wajahnya yang memerah, “Aku akan menjadi pacarmu Kosuke…”
“Yahoo!” teriak Kosuke dengan senang dan bersemangat, “Benar kan? Kau benar-benar mau menjadi pacarku kan?”
“I-iya, aku serius…” jawab Mori dengan wajahnya yang memerah padam.
“Hei Mori, apakah kau haus? Sini aku belikan minuman.” Tanya Kosuke sambil tersenyum.
“Terserah kamu saja deh,” jawab Mori yang perasaannya bercampur aduk.
“Baiklah, kamu tunggu di sini sebentar ya,” ucap kosuke sambil berjalan menuju ke kios yang menjual minuman, “Aku tak akan lama, jadi kamu tunggu di sini sebentar ya!”
Moripun menunggu Kosuke dengan sabar. Tak lama kemudian, Kosuke membawa dua gelas minuman ringan sambil tersenyum memandang Mori.
“Hei Mori, ini minumannya, kamu pasti haus.” ucap Kosuke sambil memberikan segelas minuman ringan kepada Mori.
“Terima kasih ya Kosuke,” ucap Mori sambil memegang tangan Kosuke, “Kosuke, aku hanya ingin meminta satu hal darimu…”
“Baiklah, apa permintaanmu itu Mori?” tanya Kosuke sambil menatap wajah Mori.
“Aku hanya ingin…” ucap Mori sambil memegang tangna Kosuke dengan kuat, “Aku hanya ingin kalau kau selalu ada di sampingku dalam keadaan apapun.”
“Baiklah Mori, aku akan selalu ada di sampingmu dalam keadaan apapun,” jawab Kosuke sambil tersenyum, “Aku akan selalu setia bersamamu dalam keadaan apapun.”
“Terima kasih Kosuke…” ucap Mori kepada Kosuke sambil memeluknya, “Aku sangat menyayangimu Kosuke…”
Kemudian, mereka berduapun pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan yang sangat bahagia. Mereka berdua selalu bersama dalam keadaan apapun dan saling mengisi hari-hari mereka dengan kebersamaan.

TAMAT